machan – Bagi masyarakat Madura, carok merupakan sebuah kata yang sarat makna. Ia tidak hanya merujuk pada aksi fisik atau kekerasan, tetapi lebih dari itu, carok adalah manifestasi dari kehormatan, harga diri, dan bentuk maskulinitas yang dilembagakan secara budaya. Dalam sejarah panjang masyarakat Madura, carok merupakan pilihan terakhir yang diambil oleh seseorang ketika merasa harga dirinya diinjak, terutama dalam konteks yang menyangkut keluarga. Namun seiring waktu, makna sakral dan bernilai luhur dari carok mengalami pergeseran yang mengkhawatirkan.
Carok dalam Konteks Budaya Tradisional
Kuntowijoyo, dalam bukunya Paradigma Islam, menyebut carok sebagai “puncak dari siklus pertahanan harga diri seorang lelaki Madura.” Ia menjelaskan bahwa carok tidak serta-merta dilakukan tanpa alasan, ada kode etik dan norma tersendiri yang menjadi batasan. Seseorang tidak akan carok hanya karena tersinggung kecil, melainkan karena pelanggaran serius terhadap kehormatan diri atau keluarga.
Mulanya, carok dalam perspektif orang Madura bukan sekadar adu kejantanan, melainkan “peristiwa budaya yang memiliki landasan spiritual,” karena bagi masyarakat Madura, membiarkan harga diri diinjak sama saja dengan mati. Carok dilakukan secara terbuka, biasanya satu lawan satu, dan dilakukan di hadapan saksi. Bahkan, ada waktu-waktu tertentu yang dianggap ‘baik’ untuk melakukan carok, dan para pelaku sebelumnya akan melakukan tirakat atau puasa.
Celurit, senjata khas Madura yang melengkung itu, tidak hanya alat, tetapi simbol. Ia menjadi representasi dari keberanian, ketegasan, dan tekad. Celurit bukan hanya benda tajam, melainkan lambang yang harus digunakan dengan tanggung jawab. Namun, bagaimana jadinya jika celurit itu digunakan tanpa makna? Atau lebih buruk, kehilangan makna itu sepenuhnya?
Pergeseran Makna, dari Kehormatan Menuju Kekerasan Tak Bermakna
Kini, istilah carok mulai dipakai secara serampangan. Tawuran antar kelompok remaja, aksi balas dendam antarkampung, bahkan penyerangan dari belakang yang dilakukan secara licik pun disebut sebagai carok. Tidak ada lagi etika duel, tidak ada lagi kesatria, yang tersisa hanya kekerasan demi kekerasan yang dibungkus dengan label warisan budaya. Carok telah berubah dari simbol kehormatan menjadi alat pembenar tindakan brutal.
Pergeseran ini tampak dalam berbagai berita kriminal yang marak di media lokal. Seorang remaja yang dikeroyok oleh lima orang di jalanan diklaim sebagai korban carok. Dalam kasus lain, seseorang yang ditusuk saat sedang tidur pun diberitakan “dicari carok-nya.” Apakah tindakan seperti ini pantas disebut carok? Bukankah carok dulu dilakukan dengan prinsip jantan, bahkan disertai ajakan atau tantangan secara terbuka?
Kondisi ini mengindikasikan adanya krisis identitas budaya. Generasi muda yang jauh dari akar tradisi cenderung menyerap makna permukaan tanpa memahami esensi. Ditambah lagi dengan pengaruh media sosial yang mengagungkan kekerasan sebagai bentuk popularitas, distorsi terhadap makna carok semakin tidak terbendung.
Masyarakat Madura yang Kehilangan Kompas Budayanya
Budayawan Madura, Achmad Zaini, dalam artikelnya di Jurnal Kebudayaan Lokal, menyebut bahwa saat ini Madura sedang mengalami “kekosongan simbolik.” Menurutnya, ketika masyarakat tidak lagi memahami atau menghidupi nilai-nilai budaya dengan utuh, maka simbol-simbol budaya akan dipakai tanpa isi, seperti cangkang kosong. Carok yang dulu sakral kini hanya jadi nama untuk sesuatu yang buas.
Ini juga menjadi tantangan besar bagi para pemangku kebijakan, tokoh agama, dan budayawan untuk merekonstruksi ulang makna carok di tengah masyarakat. Tidak bisa dipungkiri bahwa kekerasan atas nama harga diri memang masih memiliki tempat di benak sebagian masyarakat. Namun cara mengartikulasikan harga diri itu harus berubah.
Rekonstruksi Makna Carok, Menemukan Celurit yang Baru
Barangkali sudah saatnya masyarakat Madura menyadari bahwa mempertahankan kehormatan tidak harus selalu dalam bentuk kekerasan. Kejantanan bisa ditunjukkan dengan cara menjaga diri, menyelesaikan konflik melalui musyawarah, atau menempuh jalur hukum dengan adil. Dalam konteks modern, carok bisa dimaknai sebagai keberanian melawan ketidakadilan dengan akal sehat dan moral, bukan dengan celurit yang diasah.
Menyitir pernyataan Emha Ainun Nadjib, “Jika budaya adalah tubuh, maka nilai adalah jiwanya.” Carok sebagai budaya tidak akan berarti apa-apa jika kehilangan nilai. Maka, celurit yang hilang dari carok bukan semata senjata fisik, tapi kehilangan nilai-nilai kesatria, etika, dan kebijaksanaan yang dulu menyertainya.
Carok telah kehilangan celuritnya. Bukan dalam arti senjata itu tak lagi digunakan, melainkan makna yang menyertainya telah pudar. Yang tersisa kini hanyalah bayangan kekerasan yang menyaru sebagai warisan budaya. Masyarakat Madura perlu merebut kembali makna carok, bukan untuk mempertahankan kekerasan, melainkan untuk menghidupkan kembali kehormatan sejati.
Karena sejatinya, menjaga harga diri tidak harus dengan melukai. Kadang, keberanian yang paling besar adalah menahan diri. Dan mungkin, celurit yang sebenarnya hari ini adalah akal sehat yang tajam dan hati yang tidak tumpul.