machan – Buku pengembangan diri “Kiai Ceret; Teladan dan Inspirasi Mahal K. H. Hosamuddin” yang ditulis oleh tim penulis Fokada (Forum Komunikasi Alumni Al-Huda), dibedah dalam rangkaian acara Haflatul Imtihan Madrasah Al-Huda yang ke-51, Kamis (12/6/25) di aula madrasah setempat.
Acara yang dipandu oleh Kiai Ah. Qushairi Hasyim ini dimulai pukul 09.00 WIB. Dihadiri oleh perwakilan alumni dari Fokada pusat dan daerah, para guru, dan perwakilan siswa.
Kiai Syahid Munawar selaku pembedah mengatakan bahwa menyebut orang saleh akan membuat si penyebut dikaruniai rahmat. K. H.Hosamuddin adalah salah satu orang saleh, maka menceritakan kembali K.H. Hosamuddin dalam acara bedah buku adalah hal penting, lebih-lebih karena beliau merupakan tokoh teladan yang multitalenta, mulai dari mengajar sampai pada beberapa jenis pekerjaan kasar.
“Beliau itu bisa membantu orang di berbagai hal. Beliau bisa membantu bekerja di sawah, juga bisa maddung atau memotong kayu, juga bisa memperbaiki rumah, mengajar, mencangkul, hingga memandikan jenazah,” jelasnya.
Mantan Ketua MWC NU Gapura itu menambahkan bahwa K. H.Hosamuddin adalah kurikulum hidup yang bisa dilakukan oleh siapa pun. Sifat yang paling tampak dari beliau adalah kedermawanannya, dan beliau berpesan bahwa salah satu wasilah untuk dimudahkan dalam sakaratul maut adalah silaturrahmi.
Pesan beliau, “silaturrahmi adalah wasilah jika ingin mudah saat sakaratul maut,” pungkas Kiai Syahid.
Sementara Kiai Dardiri Zubairi selaku pembanding mengatakan bahwa Madrasah Al-Huda itu sebenarnya adalah pelembagaan dari perjuangan K. H. Hosamuddin.
Kiprah perjuangan K. H.Hosamuddin sejak awal memang bukan berorientasi pada pemenuhan kebutuhan fisik, maka bila dikaitkan dengan buku itu, kurang tepat apabila sebagian penulis menggunakan teori barat sebagai landasan meneropong kiprah perjuangan K. H.Hosamuddin.
Kiai Dardiri menambahkan bahwa masih bisa dilakukan penggalian data baru untuk melengkapi buku tersebut, misalnya waktu K. H.Hosamuddin mondok sekitar era kemerdekaan dan adanya wabah penyakit saat itu.
“Jadi buku ini nantinya bisa dikembangkan lagi datanya, misal menambahkan kondisi sosial ketika K. H.Hosamuddin mondok dan saat itu sedang terjadi wabah flu Spanyol,” paparnya.
Kiai Dardiri juga mengatakan bahwa kedekatan K. H.Hosamuddin dengan santrinya karena menggunakan teknik mengajar satu per satu atau tidak menggunakan teknik klasikal seperti saat ini, dan lembaga pendidikan pada saat itu murni menjadi tempat untuk mengabdikan diri, bukan untuk yang lain.
“Apa pun metodenya, kurikulumnya tetap K. H.Hosamuddin,” pungkasnya.
Adapun Iqra’ Al-Firdaus selaku perwakilan penulis megatakan bahwa buku “Kiai Ceret” adalah pintu bagi para alumni dan masyarakat luas untuk kenal dan tahu kepada K.H. Hosamuddin, terurama jejak perjuangannya.
Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini juga mengutip istilah yang tren di kalangan Fokada yaitu, “Ke mana pun kita pergi, Al-Huda tempat kembali”. Makna “kembali ke lembaga asal” menurut Iqro’ tidak harus dalam bentuk mengajar, tapi bisa dilakukan dalam berbagai hal selama itu berdampak positif bagi lembaga asal.
“Kembali ke Al-Huda itu tidak harus menjadi guru, tapi hadir ke acara-acara yang diadakan di Al-Huda ini adalah bagian dari kembali, memberikan donasi, termasuk membeli dan membaca buku ini juga termasuk dari upaya kembali ke Al-Huda,” pungkasnya.