machan – Puluhan massa yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Sumenep Peduli (ASMP) menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) Sumenep pada Jumat, (16/5/25).
Mereka salah satunya menuntut transparansi pengusutan kasus dugaan korupsi program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) di Kabupaten Sumenep oleh Kejari yang kini disebut telah diambil alih oleh Kajaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur.
Kordinator lapangan (Korlap) ASMP, Nurrahmat mengatakan, pelaksanaan program bantuan rumah di Sumenep itu jelas non prosedural sesuai dengan temuan Inspektur Jenderal Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Heri Jerman saat melakukan sidak ke 13 kecamatan di Sumenep beberapa waktu lalu.
Namun, Nurrahmat menilai Kejari Sumenep lamban dalam mengusut kasus tersebut meskipun sudah mengetahui modus operandinya.
“Bapak kan sudah tahu modus operandinya seperti apa dan ini kan sudah jelas yang disampaikan oleh pihak irjen itu ini non prosedural,” kata Nurrahmat dalam orasinya di hadapan Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus (Kasi Pidsus) Kejari Sumenep, Boby Ardirizka Widodo dan Kepala Seksi Intelijen (Kasi Intel) Kejari Sumenep, Moch Indra Subrata. Sebagai informasi, keduanya memang hadir menemui massa mewakili Kejari Sumenep.
Nurrahmat mempertanyakan kinerja penyidik Kejari Sumenep selama hampir dua bulan mengusut kasus BSPS. Dia mengungkapkan Korps Adhyaksa baru memanggil 15 kepala desa (Kades) atau 10 persen dari 150 kades penerima BSPS di Sumenep.
“Saya nanya ke bapak, sejauh ini pemanggilan itu sudah apa saja yang bapak lakukan, siapa saja yang dipanggil? Ingat lho pak, sampeyan baru memanggil 15 kepala desa dari 150 kepala desa yang menerima program BSPS. Cuma 10 persen, ini hampir 2 bulan lho pak. 150 (kades penerima BSPS) baru dipanggil 15. Alasannya bapak kurang tim penyidik, kan sudah diambil Kejaksaan Tinggi. Masa sih kekurangan penyidik. Apa hanya menunggu laporan dari masyarakat?” ujar Nurrahmat.
Nurrahmat kemudian menagih janji Kejari Sumenep untuk turun tangan mengusut dugaan penyelewengan BSPS di Desa Errabu, Kecamatan Bluto, sebagaimana yang viral dalam banyak pemberitaan media.
Nurrahmat mengatakan, Kasi Intel Kejari Sumenep, Moch Indra Subrata, sempat memberikan pernyataan ke media bahwa pihaknya akan turun memproses temuan dugaan penyimpangan realisasi bantuan rumah untuk masyarakat miskin itu di Desa Errabu. Ia pun mempertanyakan hasilnya.
“Ingat lho bapak pernah berstatement, kalau ndak keliru Bapak Kasi Intel ini (menunjuk Indra), ketika ada pemberitaan di Desa Errabu, dia (Kejari) akan turun. Hasilnya bagaimana bapak? Hasilnya bapak turun yang dijanjikan di media? Di Desa Errabu, Kecamatan Bluto, bapak pernah menyampaikan di salah satu media bahwa bapak akan turun. Nah, gimana pak hasilnya?” tanya Nurrahmat ke Indra.
Indra pun merespons pertanyaan itu secara singkat, “sudah ditemukan”. “Oh, sudah ditemukan,” ujar Nurrahmat menimpali.
Lebih lanjut, Nurrahmat menegaskan aksi unjuk rasa ini dalam rangka mempertanyakan hasil penyelidikan kasus BSPS oleh Kejari Sumenep. Ia menilai tak ada perkembangan siginifikan dalam proses tersebut.
“Jadi saya ke sini ini mau menanyakan pak berapa kepala desa yang sudah dipanggil, berapa pemilik toko material, kan datanya sudah jelas, pak. Kapan proses ini akan bapak lakukan? Masih menunggu petunjuk dari Kejati karena diambil Kejati seperti itu? Bisa dua tahun, pak,” tegas Nurrahmat.
Untuk diketahui, Errabu merupakan desa penerima BSPS terbanyak di Kecamatan Bluto, yakni 60 unit. Realisasinya pun belakangan ini paling banyak disorot media karena diduga sarat penyimpangan.
Berbagai dugaan penyimpangan yang terjadi di Desa Errabu, mulai dari penerima yang tidak tepat sasaran hingga salah peruntukan.
Program yang semestinya untuk orang miskin supaya memiliki rumah layak huni justru diduga banyak dimanfaatkan oleh orang mampu yang sudah punya rumah mapan.
Salah satu modusnya, memanipulasi bangunan agar mendapat bantuan dengan menempati bangunan tidak layak huni supaya lolos survei.
Bahkan, beberapa penerima disebut sengaja membangun hunian non permanen dari rajangan bambu tembakau dengan beratap terpal.
Mirisnya lagi, program ini diduga banyak dimanfaatkan oleh perangkat desa dan kerabat dekatnya saja.
Akibatnya, bantuan yang seharusnya untuk perbaikan rumah justru dimanfaatkan di luar peruntukan seperti bangun dapur, musolla pribadi, bahkan toko.
Hal itu pun sudah diakui sendiri oleh Kepala Desa Errabu, Hafidatin dalam sebuah pemberitaan media cetak beberapa waktu lalu, bahwa sebagian bantuan di desanya dipakai untuk bangun dapur dan musolla pribadi.
Sehingga, Kejari Sumenep tidak boleh menutup mata atas berbagai temuan tersebut. Terlebih, sudah ada pengakuan secara langsung dari kadesnya.