(Penekanan pada penyalahgunaan otoritas keagamaan dan tuntutan keadilan sosial)
Oleh: Mohammad Anas*
machan – Kasus dugaan penyerobotan lahan milik Matroyo, warga Dusun Dikkodik RT 05/RW 02, Desa Gapura Timur, Sumenep, mencuat ke permukaan. Lahan seluas puluhan meter yang ditanami pohon bernilai ekonomi tinggi seperti kelapa, jati, dan siwalan diduga dikuasai paksa oleh seorang tokoh agama berinisial (S). Kejadian ini terjadi setelah Matroyo diajak meninjau lahan usai salat Jumat, di mana (S) membujuknya menjual tanah dengan harga sangat murah, Rp1,5 juta, tanpa kerelaan penuh.
Matroyo mengaku dipaksa melakukan transaksi, yang juga dilakukan tanpa sepengetahuan keluarganya. Ketika keluarga berusaha mengembalikan uang tersebut, (S) justru menuntut tambahan Rp8,5 juta dengan alasan lahan telah dijual ke pihak ketiga seharga Rp150 juta. Keluarga Matroyo kini berencana melaporkan kasus ini demi keadilan.
Analisis Hukum Islam dalam Kasus ini:
– Praktek yang dilakukan (S) tergolong dalam praktek Ghosob (Perampasan). Yaitu: Penguasaan terhadap hak milik orang lain secara dholim, dan si Grosib (orang yang meng-ghosob) wajib mengembalikan apa yang dia ghosob jika barangbya masih ada. Jika tidak, maka wajib mengganti dengan harga tertinggi dari barang tersebut pada saat itu.
الغصب: استيلاء على حق غير ولو منفعة كإقامة من قعد بمسجد أو سوق بلا حق كجلوسه على فراش غيره وإن لم ينقله وإزعاجه عن داره وإن لم يدخلها وكركوب دابة غيره واستخدام عبده. وعلى الغاصب: رد وضمان متمول تلف بأقصى قيمه من حين غصب إلى تلف
“Ghosob: adalah penguasaan terhadap hak milik orang lain tanpa hak, meskipun hak milik tadi berupa manfaat (sesuatu yang tak benda). Contoh ghosob seperti memaksa berdiri seseorang tanpa hak yang sedang duduk di masjid atau pasar, duduk di tempat tidur orang lain meskipun ia tidak memindahkan tempat tidur tersebut, atau mengeluarkan seseorang dari rumahnya meskipun tanpa memasuki rumah itu, menunggangi hewan milik orang lain, atau mempergunakan budaknya. Perampas wajib mengembalikan dan menjamin harta yang hilang dengan nilai maksimal sejak saat perampasan hingga harta tersebut hilang.” [Kitab Fathul Mu’in, hlm: 389]
– Hukum transaksi (S)
ويشترط أيضا فيهما الإختيار فلا يصح بيع المكره
Didalam bertransaksi, kedua belah pihak disyaratkan melakukannya dengan sukarela. Sehingga, transaksi jual bali seseorang yang dipaksa hukumnya tidak sah. [Kitab Kifayatul akhyar, hlm: 239]
فَلاَ يَصِحُّ عَقْدُ مُكْرَهٍ فِيْ مَالِهِ بِغَيْرِ حَقٍّ لِعَدَمِ رِضَاهُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Akad yang dilakukan seseorang yang dipaksa tanpa hak atau tidak dibenarkan, hukumnya tidak sah (contoh pemaksaan yang hak atau dibenarkan: Ada orang punya hutang, tidak mau bayar membayar, maka orang tersebut terpaksa harus menjual hartanya untuk dibayarkan hutang. Jual beli yang dipaksa karena hal seperti ini hukumnya sah). [Fathul wahhab, jilid: 2, vol: 174]
– Hukum menerjang akad yang tidak sah
Karena transaksi yang dilakukan oknum (S) tidak sah, maka hukum menerjang transaksi tersebut adalah haram, dan tentunya ia sebagai tokoh agama paham akan hukum tersebut.
(قَوْلُهُ: وَهَذَا) أَيْ تَعَاطِي الْعُقُودِ الْفَاسِدَةِ (قَوْلُهُ: صَغِيرَةٌ) نُقِلَ عَنْ حَجّ فِي الزَّوَاجِرِ أَنَّ تَعَاطِيَ الْعُقُودِ الْفَاسِدَةِ كَبِيرَةٌ
Menerjang akad yang tidak sah tergolong dosa kecil. Namun dikutip dari kitab azzawajir karya imam ibnu hajar, tindakan tersebut tergolong dosa besar. [Hasyiyah assyibromillisi, jilid 8, vol: 296]
– Meminta paksa uang (8.5 jt pada kasus ini)
Sesuatu yang didapat bukan karena suatu kesukarelaan dari si pemberi, hukumnya haram. Seperti ketika dia terdesak, dan bisa bebas dari keterdesakan itu dengan cara memberikan sebagian harta bendanya.
– لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِطِيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ
“Tidak halal mengambil harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dirinya.” [HR. Abu Dawud dan Ad-Daruquthni]
لَوْ طَلَبَ مِنْ غَيْرِهِ هِبَةَ شَيْءٍ فِي مَلَأٍ مِنْ النَّاسِ فَوَهَبَهُ مِنْهُ اسْتِحْيَاءً مِنْهُمْ وَلَوْ كَانَ خَالِيًا مَا أَعْطَاهُ حَرُمَ كَالْمُصَادَرِ، وَكَذَا كُلُّ مَنْ وُهِبَ لَهُ شَيْءٌ لِاتِّقَاءِ شَرِّهِ أَوْ سِعَايَتِهِ
Ketika seseorang meminta kepada orang lain didepan umum agar ia mau memberikan sesuatu padanya dan andai kata ditempat yang sepi dia tidak akan memberikan sesuatu tersebut, maka apa yang ia minta hukumnya haram seperti keharaman pada kasus mushodir (seseorang yang terpaksa menjual hartanya kepada orang yang mendholiminya). Begitu pula (haram) harta yang diberikan kepada seseorang karena untuk menghindari prilaku buruk, fitnah atau umpatannya. [Kitab Nihayatul Muhtaj, juz 5, hal: 422]
– Pemerintah harus memberikan pelayanan terbaik
Melihat masalah seperti ini maka pemerintah harus melakukan tindakan terbaik dan menyelesaikannya. Hal ini seperti yang tercantum dalam kaedah fiqih yang berbunyi:
تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة
Langkah atau trobosan seorang imam/pemerintah bagi rakyat harus berdasar maslahat [ Kitab Al-Mantsur Fil Qowaid Al-Fiqhiyah, jilid: 1, vol: 309)
وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ
Artinya: “Apabila kalian memutuskan perkara di antara manusia, maka hendaklah kalian memutuskan dengan adil,” [QS An-Nisa’: 58]
Kesimpulannya adalah penyerobotan yang dilakukan oleh (S) tergolong dalam praktek ghosob dan ia wajib mengembalikan apa yang telah dia ghosob dan juga wajib bertanggung jawab jika terjadi kerusakan terhadap tanah yang ia ghosob. Transaksi yang dilakukan pun hukumnya tidak sah dan ketika hal ini dilakukan secara sadar maka ia telah melakukan suatu dosa besar menurut Imam ibnu Hajar. Kemudian tindakan meminta uang tambahan agar tanah korban bisa kembali termasuk suatu pemerasan, dan hukumnya haram. Andai korban bersedia memberikan uang tambahan tersebut agar tanahnya kembali, maka uang tambahan tersebut hukumnya haram bagi (S), kenapa? Karena uang tersebut diberikan dalam rangka menghindari atau menghentikan keburukan (S) yang menahan tanah si korban.
*Pemuda asal Gapura Timur yang sedang nyantri di Al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah.