machan – Di antara gemerlap kota Yogyakarta, seorang pemuda asal Sumenep bernama Ach Nur Aqil Wahid terus menyalakan lenteranya. Bukan sekadar untuk dirinya sendiri, tapi untuk sebuah mimpi besar “Membawa kecerdasan buatan (AI) pulang ke tanah kelahirannya, Sumenep.”
Aqil, yang kini sedang menempuh studi Magister AI di Universitas Gadjah Mada (UGM), bukanlah nama asing di dunia teknologi. Karyanya berbicara, sayangnya, lebih banyak dinikmati oleh orang-orang di luar Madura. Tapi di balik setiap kode yang ia tulis, ada kerinduan yang menggebu keinginan untuk melihat Sumenep maju dengan sentuhan teknologi.
Anak Sumenep Pergi ke Yogyakarta, Sebuah Perjalan Panjang yang Melahirkan Karya Besar
Lahir dan besar di Sumenep, Aqil menempuh pendidikan dasar di SDN Pabian dan SMPN 1 Sumenep, sebelum akhirnya lulus dari SMAN 1 Sumenep. Saat itu, ia sempat diterima di Universitas Telkom Surabaya dan Universitas Trunojoyo Madura. Tapi sang ayah punya nasihat bijak “Pergilah ke Yogyakarta, Nak. Carilah ilmu sejauh mungkin.”
Dengan tekad bulat, Aqil memilih hijrah ke Yogyakarta, menimba ilmu di Universitas Teknologi Yogyakarta (UTY). Di sana, ia tak hanya lulus dalam 3,5 tahun, tapi juga membuktikan dedikasinya dengan meneliti penerapan AI untuk diagnosa penyakit—sebuah karya yang ia dedikasikan untuk Sumenep.
AI Bukan Hanya Teknologi, Tapi Juga Harapan
Bagi Aqil, AI bukan sekadar deretan algoritma atau kecanggihan komputer. Ini tentang perubahan. “AI adalah lompatan peradaban,” ujarnya dengan mata berbinar. “Jika dulu revolusi industri menggantikan tenaga manusia, AI kini membantu pikiran kita untuk mencipta.”
Tapi di balik antusiasmenya, ada kegelisahan. Di Indonesia, AI baru serius dibicarakan dua tahun terakhir, sementara negara lain sudah jauh melesat. “Kita tidak boleh tertinggal,” katanya. “Pilihannya hanya dua: memanfaatkannya, atau tergilas oleh zaman.”
Impian untuk Sumenep, Pelayanan Publik yang Lebih Cerdas di Masa Depan
Hatinya selalu tertaut ke Sumenep. Ia bermimpi suatu hari nanti, AI bisa diterapkan dalam sistem pelayanan publik di kabupaten tercintanya. “Bayangkan jika pemerintah bisa bekerja lebih cepat dan akurat, dengan bantuan AI. Masyarakat pasti merasakan manfaatnya,” ucapnya penuh keyakinan.
Tapi mimpi itu butuh dukungan. Butuh keberanian para pemangku kebijakan untuk melangkah maju. “Pertanyaannya,” tandas Aqil, “apakah para pemimpin kita siap memanfaatkan AI, atau justru memilih berdiam diri?”
Di ujung pembicaraan, suaranya bergetar penuh haru. “Saya ingin Sumenep maju. Saya ingin pulang dan berkontribusi. Tapi semua tergantung pada apakah kita, sebagai anak bangsa, siap menyambut masa depan.”
Dan di balik layar komputer, Aqil terus mengetik baris demi baris kode, langkah demi langkah, mendekatkan mimpi itu menjadi kenyataan. Untuk Sumenep. Untuk Indonesia.