machan – Akhir-Akhir ini Dunia pendidikan Indonesia kembali dihebohkan oleh tindakan tidak terpuji dari oknum tertentu. Kali ini, yang menjadi sorotan adalah Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Komite OSIS Nasional Indonesia, H. Ahmad Wahyu Saputra, S.IP, M.H., MM., M.IP., diduga menggunakan gelar akademik palsu untuk menipu masyarakat dan membangun citra yang tidak sesuai dengan fakta.
Tuduhan ini muncul setelah pengecekan terhadap Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti) sistem resmi pemerintah yang memuat data mahasiswa dan lulusan perguruan tinggi di Indonesia tidak menemukan nama Ahmad Wahyu Saputra dengan sederet gelar yang ia gunakan. Temuan ini semakin menguatkan kecurigaan banyak pihak, termasuk para aktivis pendidikan dan pemuda, bahwa terdapat upaya penipuan yang disengaja.
Salah satu tokoh yang vokal menanggapi kasus ini adalah Moh Iskil El Fatih, seorang aktivis Pramuka. Ia dengan tegas menyatakan bahwa kasus ini bukan sekadar persoalan individu, melainkan bentuk penipuan publik yang merusak martabat dunia pendidikan. “Ini adalah pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan bisa dikenai sanksi pidana penjara hingga lima tahun,” tegas Iskil.
Selain itu, Ahmad Wahyu Saputra juga diklaim sebagai Pembina OSIS Sulawesi Selatan dan Ketua Umum DPP Komite OSIS Nasional periode 2020–2026 yang konon ditunjuk langsung oleh Presiden Joko Widodo. Namun, klaim ini belum pernah dikonfirmasi kebenarannya dan dianggap sebagai upaya manipulasi untuk kepentingan pribadi.
Iskil mengaku telah melakukan verifikasi melalui berbagai sumber, termasuk PDDikti, dan menyimpulkan bahwa semua gelar yang digunakan Ahmad Wahyu Saputra adalah palsu. “Sudah cukup siswa Indonesia dibohongi. Nama-nama besar seperti Gerakan Pramuka, Wakil Presiden, dan Kementerian dicatut tanpa izin. Ini adalah bentuk pelanggaran berat!” tambahnya.
Kasus ini semakin memanas setelah Komite OSIS Nasional menggelar acara bertajuk “Pendidikan Kader Pramuka Bela Negara” tanpa izin dari Kwartir Nasional (Kwarnas) Gerakan Pramuka, bahkan menggunakan logo resmi organisasi tersebut. Tindakan ini melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.
“Jika tidak ada permintaan maaf terbuka dan klarifikasi terbuka dari pihak terkait dalam waktu dekat, saya akan mengambil langkah hukum,” tegas Iskil.
Indonesia membutuhkan sosok panutan, bukan penipu yang bersembunyi di balik organisasi. Pendidikan harus dijunjung tinggi, bukan dijadikan panggung untuk kepalsuan. Sudah saatnya aparat penegak hukum turun tangan untuk membersihkan dunia pendidikan dari praktik-praktik tidak terpuji seperti ini.