Oleh : M. Sanusi, M.A*
machan – Pemerintah Desa Gapura Timur sangat lamban dalam mengambil tindakan dan acap kali mengabaikan kewajibannya. Salah satu buktinya adalah ketidakmampuan desa memperbaiki jembatan yang rusak, padahal dana desa mencapai miliaran rupiah setiap tahun. Hal ini mengindikasikan pengelolaan keuangan desa yang tidak transparan dan cenderung serampangan.
Masyarakat sebenarnya berhak mengetahui alokasi dan penggunaan dana desa, sebagaimana diatur dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa (Pasal 68) yang menjamin hak warga atas informasi pembangunan. Selain itu, Permendagri No. 20 Tahun 2018 mewajibkan pemerintah desa untuk mempublikasikan laporan keuangan secara terbuka sebagai bentuk transparansi anggaran. Namun, realitanya, informasi tersebut sulit diakses, memicu kecurigaan adanya penyimpangan.
Di tengah kelambanan pemerintah desa, warga justru bergotong royong membangun jembatan secara swadaya. Sikap ini patut diapresiasi, tetapi tidak boleh dijadikan alasan bagi pemerintah desa untuk lepas tangan. Gotong royong adalah bentuk partisipasi masyarakat, bukan pengganti tanggung jawab negara dalam menyediakan infrastruktur dasar.
Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Desa seharusnya melibatkan seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya kalangan elite. Sayangnya, proses perencanaan masih bersifat eksklusif, sehingga banyak aspirasi warga yang tidak terdengar. Padahal, dana desa adalah uang rakyat, sehingga penggunaannya harus benar-benar sesuai kebutuhan masyarakat. Lemahnya perencanaan dan pengawasan memperlihatkan buruknya tata kelola desa, padahal kedua aspek ini sangat krusial dalam pembangunan.
Bahkan yang paling menggelikan, berdasarkan penuturuan salah satu Pemuda yang kebetulan diundang ke Musren waktu itu sempat dicibir karena mengusulkan sesuatu.
“Saya pernah juga diundang Musrenbangdes tapi hanya sekali, setelah itu tidak diundang lagi. Karena pada waktu itu saya mengusulkan agar mensejahterakan para janda dengan UMKM. Tapi kemudian saya dibilangin anak kecil dan jangan ikut campur ke urusan orang dewasa,” tutur salah satu pemuda desa di grup WhatsApp.
Nah ini contoh ekslusi, penyingkiran terhadap orang atau gagasan, dengan menyebut atau mesitgmakan seseorang itu anak kecil, bau kencur, tak layak berpendapat dan lainnya. Kita jangan senyum mendengar kata-kata seperti itu, itu tidak lucu sama sekali. Itu bentuk delegitimasi paling kasar terhadap kebebasan berpendapat.
Kami rasa Kepala Desa Gapura Timur dinilai perlu mengikuti retret atau kegiatan refleksi untuk melakukan introspeksi atas kinerjanya yang dinilai tidak memuaskan. Tata kelola desa yang baik harus transparan, akuntabel, dan partisipatif. Setiap kebijakan harus melibatkan seluruh elemen masyarakat tanpa diskriminasi politik. Kepala desa seharusnya bersikap netral dan adil, bukan hanya memihak kelompok tertentu. Budaya toleransi terhadap ketidakadilan seperti “Maklum, bukan pendukungnya si dia” harus dihentikan karena hanya melanggengkan penyalahgunaan kekuasaan.
Dengan memperbaiki tata kelola desa, diharapkan pembangunan di Gapura Timur dapat berjalan lebih efektif dan berpihak pada kepentingan seluruh warga, bukan hanya segelintir orang. Tolong Pak Presiden Prabowo adakan juga Retret bagi kepala desa, karena kami rasa akan menjadi momen untuk menyegarkan niat dan komitmen dalam menjalankan amanah dengan lebih baik.
*Aktivis, Alumnus Magister Antropologi UGM