machan – 21 April merupakan momen simbolis yang sakral bagi perempuan. Momen tersebut menjadi tonggak sejarah yang penting untuk mengenang dan menghormati jasa Raden Ajeng Kartini. Sosok seorang tokoh yang dikenal sebagai pelopor emansipasi perempuan di Indonesia. Ia telah berkontribusi besar dalam memperjuangkan kesetaraan dan hak-hak perempuan. Saat hegemoni patriarki kian semakin masif, Kartini tak henti-hentinya dan tiada lelah terus memacu egalitarianisme dan partisipasi perempuan dengan inisiasi dan strategi, sehingga pada akhirnya kebebasan pendidikan dan peran perempuan di ruang publik dapat kita rasakan sampai saat ini.
Perayaan Hari Kartini tentunya tak dapat hanya dirayakan melalui agenda seremonial belaka. Berakhirnya masa penjajahan dan bebasnya perempuan dalam mengenyam pendidikan tidak membuat usai estafet perjuangan. Semangat Kartini harus senantiasa disemarakkan dalam berbagai lini kehidupan, di tengah semakin kompleksnya tantangan zaman yang terus mengarah pada dinamika problematik. Mulai budaya patriarki yang masih tetanam kuat dalam paradigma masyarakat tradisional, hedonisme, egosentrisme, bullying, pelecehan seksual dan lain sebagainya. Perempuan-perempuan masa kini sudah sepatutnya merefklekskani keteladan R.A Kartini dalam berperan sebagai agen perubahan dan agen kontrol sosial.
Meneladani Kartini berarti harus memiliki peran penting dalam menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara. Kaum perempuan sebagai poros peradaban tidak boleh pasif dalam menyikapi segala dinamika persoalan dalam berbagai aspek kehidupan. Segala kompleksitas kesenjangan peran laki-laki dan perempuan, baik dalam aspek pendidikan, sosial, budaya, politik, dan ekonomi harus senantiasa disuarakan dan dikritisasi melalui tindakan konkret. Mengingat, adanya ketidak setaraan hak antara laki-laki dan perempuan adalah bentuk bias gender. Hal tersebut terjadi karena sampai hari ini masih banyak masyarakat yang eksklusif dalam memahami kesetaraan dan harmonisasi gender.
Permasalahan tersebut banyak terjadi karena stigma yang membedakan jenis kelamin. Mansour Fakih dalam bukunya Analisis Gender dan Transformasi Sosial mengatakan menganalisis bahwa perbedaan gender akan melahirkan manifestasi bentuk ketidakadilan seperti marginalisasi (pemiskinan ekonomi) terhadap kaum perempuan, terjadinya subordinasi pada salah satu jenis kelamin, pelabelan negatif (stereotype), kekerasan (violence), menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama (double burden), pada umumnya yang menjadi korban adalah perempuan, ditambah dengan adanya tradisi dan keyakinan masyarakat bahwa perempuanlah yang bertugas dan memelihara kerapian rumah, serta tanggung jawab atas terlaksananya keseluruhan pekerjaan tersebut.
Hal tersebut yang menjadi PR untuk dipecahkan oleh kita bersama. Mewujudkan kesetaraan dan memecahkan problematika gender tidak bisa hanya dengan mendobrak eksistensi perempuan melalui keteladanan Kartini, sedangkan di luar sana masih minim ruang aman bagi perempuan untuk berlindung dan berperan. Seperti maraknya kasus pelecehan seksual yang tengah terjadi, baik dalam aspek pendidikan, kesehatan, politik, pesantren dan lainnya. Kenyataan pahit tersebut semakin menyadarkan kita akan pentingnya untuk menciptakan ruang aman dan inklusif bagi perempuan. Upaya tersebut sangatlah penting, karena dapat berimplikasi jangka panjang terhadap progresivitas pemberdayaan, kesetaraan dan harmonisasi gender, sehingga persoalan diskriminasi kaum perempuan tidak selalu menjadi isu hangat yang dominan.