Oleh : Abdul Warits*
machan – Di era digital yang tanpa batas ini, dunia maya telah menjadi ruang baru pembentukan karakter dan cara pandang anak-anak serta remaja.
Sayangnya, ruang ini tidak selalu ramah. Isu-isu global seperti perang, konflik geopolitik, dan kekerasan sering kali dibalut narasi keagamaan, nasionalisme sempit, atau pembelaan terhadap kelompok tertentu.
Di tangan pihak-pihak radikal, isu perang menjadi alat propaganda untuk menyusupi pikiran generasi muda dengan ideologi kebencian dan kekerasan.
Anak-anak dan remaja kini hidup di tengah arus informasi yang deras. Media sosial, video pendek, game online, hingga forum diskusi menjadi ladang luas penyebaran pesan.
Sayangnya, algoritma digital sering kali memperkuat konten yang bersifat sensasional, termasuk yang bernuansa ekstremis. Isu perang di Gaza, Ukraina, atau Timur Tengah bisa dimanipulasi menjadi narasi yang membakar emosi, memicu simpati buta, bahkan menyeret ke dalam tindakan radikal.
Anak-anak yang belum matang secara emosional dan belum memiliki kemampuan literasi digital yang kuat sangat rentan menjadi target.
Dengan pendekatan yang halus—melalui animasi, video inspiratif, atau bahkan meme lucu—pesan-pesan kebencian bisa disusupkan dengan mudah.
Banyak dari proses radikalisasi bermula dari simpati. Narasi tentang penderitaan suatu kelompok atau bangsa dijadikan bahan bakar untuk membangkitkan kemarahan.
Dalam dunia digital, simpati terhadap korban perang bisa berubah menjadi kebencian terhadap kelompok lain yang dianggap sebagai musuh.
Ini bisa berlangsung tanpa disadari, lewat tontonan berulang yang menciptakan bias, dan kemudian membentuk identitas digital anak sebagai bagian dari “pejuang” kebenaran.
Dari sinilah radikalisme mulai berkembang: dari narasi korban, berkembang ke narasi perlawanan, lalu berujung pada ajakan aksi, baik dalam bentuk ujaran kebencian maupun partisipasi nyata. Ironisnya, semua ini bisa terjadi di kamar tidur seorang remaja yang tampak biasa.
Pendidikan literasi digital bukan sekadar mengajarkan cara menggunakan internet, tetapi bagaimana menyaring informasi, mengenali manipulasi emosi, serta memahami bahwa tidak semua narasi mewakili kebenaran tunggal.
Bersamaan dengan itu, penting pula mengajarkan literasi emosional: bagaimana memahami rasa marah, empati, dan ketidakadilan tanpa membalas dengan kebencian.
Orang tua bukan sekadar pengawas konten digital, tapi harus menjadi teman diskusi anak. Ketika anak mulai menunjukkan empati terhadap isu global, penting bagi orang tua untuk menemani proses berpikirnya—bukan menolak, tapi mengarahkan agar empati itu tidak menjadi bara radikalisme.
Pemerintah dan komunitas digital harus lebih aktif dalam menciptakan konten alternatif yang tidak hanya menarik secara visual, tetapi juga kuat secara substansi. Kisah-kisah perdamaian, rekonsiliasi, dan aksi kemanusiaan bisa menjadi tandingan yang efektif terhadap konten radikal.
Pencegahan radikalisme digital tidak bisa dilakukan sendiri. Negara harus bekerja sama dengan platform digital untuk menindak penyebaran konten radikal, melibatkan komunitas lokal dalam edukasi, serta memanfaatkan AI untuk mendeteksi pola penyebaran propaganda.
Anak-anak dan remaja bukan sekadar generasi penerus, mereka adalah penentu masa depan yang tengah dibentuk hari ini. Dalam dunia digital yang tak mengenal batas ruang dan waktu, menjaga mereka dari radikalisme bukan tugas satu pihak, melainkan tanggung jawab kolektif.
Kita tidak bisa menghapus isu perang dari dunia ini, tetapi kita bisa mengajarkan bagaimana memahaminya dengan hati yang damai dan pikiran yang jernih. Hanya dengan itu, dunia maya bisa menjadi taman yang menumbuhkan nalar kritis dan kasih sayang—bukan kebencian dan kekerasan.
*Sekretaris Duta Damai Santri Jatim