Oleh: Moh. Luthfi, S.E*
machan – Hidup di desa bukan berarti terjebak dalam kubangan kemiskinan atau berada satu
tingkat di bawah peradaban kota. Label desa sebagai kawasan primitif hanyalah mitos yang dipelihara oleh pandangan sempit perkotaan. Faktanya, hampir setiap rumah tangga di desa memiliki aset paling strategis yang sering diremehkan, yaitu tanah pekarangan. Lahan kecil ini bukan sekadar halaman kosong, melainkan “bank hidup” yang bisa menyimpan bibit, tanaman, ternak, dan pupuk sebagai modal nyata yang nilainya terus tumbuh.
Di tengah krisis pangan, inflasi melambung, dan ketergantungan mematikan pada pasokan dari luar, gerakan ekonomi pekarangan adalah bentuk perlawanan paling nyata. Ini bukan pertanian industri yang rakus modal dan tenaga kerja, tetapi sistem ekonomi alternatif yang lahir dari tanah rumah sendiri. Pekarangan bukan ruang statis; ia adalah ladang kedaulatan ekonomi rakyat. Bayangkan, di halaman rumah, orang menanam sayur, memelihara ayam atau kambing, mengolah hasil panen di dapur, dan mengubahnya menjadi produk siap jual sebuah pabrik mini tanpa polusi, tanpa utang, dan ramah lingkungan.
Dengan ekonomi pekarangan, desa tidak perlu tunduk pada permainan harga pasar, guncangan inflasi, atau monopoli distribusi. Mereka punya dapur sendiri, kebun sendiri, ternak sendiri, dan pasar kecil antar-tetangga. Mereka tidak sekadar kebal inflasi mereka menciptakan sistem ekonomi yang tak bisa disentuh kapital besar. Jika dikelola dengan kesadaran kolektif, pekarangan desa bisa menjadi senjata perlawanan terhadap inflasi, kelangkaan pangan, dan monopoli pasar. Ironisnya, banyak desa hari ini justru membeli pangan dari luar, padahal halaman rumah mereka adalah ladang
kemerdekaan ekonomi yang selama ini diabaikan.
Seharusnya ketahanan pangan diawali dari manjemen pekarangan di Desa yang bisa dijadikan sumber pangan rumah tangga dalam skala kecil. Untuk kebutuhan dapur seperti cabe, sayuran, dan rempah-rempah bisa diambil di pekarangan. Tidak perlu terus buang uang ke pasar cukup pekaranganmu yang jadi pasar. Hasil dari bahan baku dipekarangan bisa diolah di rumah, bahkan munkin bisa dijadikan sumber penghasilan untuk dijual. Ini menjadikan rumahmu adalah pabrik yang menghasilkan produk kebutuhan hidup yang siap dijual seperti produksi gula aren. Di sisi lain kehidupan desa di pekarangan selalu ada kandang yang biasa buat piara ayam, kambing, sampai sapi. Hal ini menunjukan bahwa pekaranganmu adalah bank yang dapat menyimpan uang untuk beutuhan-kebutuhan tertentu.
Ketahanan pangan di negeri ini terlalu sering dijadikan proyek mercusuar, megah di atas kertas, menguras anggaran, tetapi tidak menyentuh akar masalah. Ketahanan pangan tidak seharusnya dimulai dari program nasional yang rumit atau proyek pertanian raksasa, tetapi dari hal paling sederhana, yaitu “manajemen pekarangan desa”. Lahan kecil di sekitar rumah bisa menjadi sumber pangan rumah tangga dalam skala kecil namun berdampak besar.
Untuk kebutuhan harian cabe, sayur, dan rempah-rempah tak perlu lagi menguras dompet di pasar, cukup memetiknya dari halaman sendiri. Kalau mau jujur, berapa banyak warga desa yang setiap hari masih beli cabe di pasar sambil mengeluh harga naik? Padahal solusinya ada lima langkah dari pintu rumah. Pekarangan adalah pasar murah, tanpa spekulasi harga, tanpa mafia distribusi. Ini membuktikan bahwa pekaranganmu adalah pasar murah tetapi efektif.
Lebih dari sekadar memenuhi kebutuhan, bahan baku dari pekarangan dapat diolah di rumah menjadi produk siap saji, seperti gula aren diproduksi tanpa harus menyewa lahan, pisang di pekarangan berubah keripik pisang, atau cabe di halaman diolah menjadi sambal kemasan. Dengan begitu, rumah bukan lagi sekadar tempat tinggal, tetapi pabrik kecil yang memproduksi kebutuhan hidup tanpa polusi, tanpa utang, dan tanpa ketergantungan pada tengkulak.
Tradisi desa yang memelihara ayam, kambing, bahkan sapi di pekarangan adalah bentuk tabungan hidup. Hewan ternak ini bisa menjadi “uang tunai” dan lebih likuid karena kapan saja bisa dicairkan saat dibutuhkan tidak ada potongan administrasi, tidak ada bunga, tidak ada nilai yang tergerus inflasi. Jauh lebih aman daripada menaruh uang di bank yang nilainya tergerus inflasi. Tapi anehnya, banyak desa lebih percaya bank dan pasar kota daripada tanah sendiri.
*Penggerak Ekonomi Kerakyatan, dan Kepala MA Al-Huda Gapura Timur Sumenep