machan – Program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) di Desa Errabu, Kecamatan Bluto, Kabupaten Sumenep, seharusnya menjadi harapan baru bagi warga miskin untuk memiliki rumah layak huni. Namun, di tangan ‘kreatif’ para pemangku kepentingan lokal, program ini berubah haluan menjadi proyek silaturrahim dan “amal jariyah” pribadi yang dibalut akal-akalan. Warga menyebutnya bukan lagi Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya, tapi Bantuan Silaturrahim Para Siluman.
Alih-alih menyasar rumah-rumah reyot, dana BSPS di Errabu malah dikabarkan jatuh ke tangan keluarga mampu, perangkat desa, dan kolega terdekat. Bahkan, secara terbuka diakui oleh Kepala Desa Hafidatin bahwa sebagian bantuan dipakai untuk membangun dapur dan musala. Entah dapur umum atau pribadi, warga pun bertanya-tanya, “Musala siapa yang dibangun, umat atau keluarga kades?”
Sejumlah warga menyebutkan, penerima BSPS di Errabu lebih banyak ditentukan berdasarkan kedekatan, bukan kebutuhan. “Yang penting kenal, urusan rumah bocor bisa nanti-nanti,” ujar seorang warga sambil menunjukkan atap rumahnya yang lebih mirip tirai bambu tembakau berlapis terpal.
Tak tanggung-tanggung, beberapa penerima bantuan bahkan disebut memanipulasi keadaan rumah. “Rumah bagus ditinggal sementara, pindah ke gubuk buatan biar dapat bantuan,” ungkap sumber. Di sisi lain, warga miskin asli malah hanya bisa menyaksikan “permainan sulap” tersebut dari bilik rumahnya yang nyaris roboh.
Kejari: Kami Akan Bertindak… Nanti, Mungkin
Merespons kekacauan ini, Kejaksaan Negeri (Kejari) Sumenep sempat mengumumkan bahwa Desa Errabu masuk daftar pantauan dan akan diperiksa. Kasi Intel Kejari, Moch Indra Subrata, bahkan mengatakan bahwa pihaknya “sudah menemukan” indikasi penyimpangan. Sayangnya, tak ada informasi lanjutan soal tindakan konkret. Kata warga, prosesnya seperti mie instan yang lupa direbus.
Saking frustrasinya, puluhan massa dari Aliansi Masyarakat Sumenep Peduli (ASMP) turun ke jalan, mendesak Kejari untuk mempercepat penanganan. Mereka mempertanyakan hasil dari pernyataan Kejari yang katanya akan turun tangan. “Sudah dua bulan lho pak, baru 15 dari 150 kades dipanggil. Masa iya penyidiknya cuma dua orang?” seru Korlap ASMP, Nurrahmat.
Aksi unjuk rasa ini sekaligus sindiran terbuka untuk kejaksaan, agar tidak hanya ‘turun tangan’ di media, tetapi juga benar-benar turun ke lapangan. Warga khawatir, proses klarifikasi malah berlangsung di warung yang dibangun dari dana BSPS itu sendiri.
Dari Bantuan Rumah ke Bangun Warung
BSPS sejatinya adalah bantuan dari pemerintah pusat untuk mendorong kemandirian masyarakat dalam merenovasi rumah tak layak huni. Tapi di Errabu, konsep kemandirian berubah jadi kreativitas luar nalar. Dana publik digunakan untuk membangun musala ‘instagramable’, dapur megah, bahkan toko kelontong.
“Ini bukan korupsi, ini investasi sosial. Musala bisa dipakai ramai-ramai, lebih berkah,” celetuk seorang warga, menirukan logika yang mereka yakini digunakan pihak desa. Entah berkah atau bercanda.
Ironisnya, Errabu adalah desa dengan penerima BSPS terbanyak di Kecamatan Bluto, yakni 60 unit. Tapi bukan berarti terbanyak yang miskin, mungkin hanya terbanyak yang ‘dekat’.
Akhir Cerita atau Baru Babak Pembuka?
Dengan temuan yang menguat dari Inspektorat Jenderal Kementerian PKP meskipun mereka belum menyentuh langsung Errabu kecurigaan makin tebal. Tapi hingga kini, belum ada tersangka, belum ada pengembalian dana, apalagi permintaan maaf.
Satu hal yang pasti, warga miskin di Errabu masih menatap rumah mereka yang bocor, sambil berharap suatu hari nanti mereka bisa bersilaturrahim cukup dekat agar layak dapat bantuan.
Kalau pun tak dapat rumah, minimal dapat dapur.