Oleh: Arka Sadhana Ziyad*
machan – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) tampak seperti kabar baik. Tapi seperti banyak proyek populis lain, ia datang dengan wajah manis dan logistik yang misterius. Di balik janji satu piring bergizi untuk jutaan anak sekolah, tersimpan pertanyaan besar: regulasinya mana? Mitranya siapa? Mekanismenya apa?
Hingga hari ini, tidak ada regulasi teknis resmi yang menjelaskan siapa penanggung jawab utama di daerah. Siapa penyedia makanannya? Apakah lewat koperasi sekolah? UMKM lokal? Atau swasta besar yang akan borong semua tender? Apakah kepala sekolah punya hak menolak vendor? Bagaimana kontrol gizi dan keamanannya?
Jawaban-jawaban ini masih mengambang.
Pemerintah pusat terus menggembar-gemborkan anggaran jumbo dan target besar, tapi tidak disertai dengan:
Peraturan Presiden yang mengikat teknis pelaksanaan,
Petunjuk Teknis (Juknis) dan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) untuk daerah,
dan standar audit terhadap distribusi, kualitas, serta laporan penggunaan anggaran.
Lebih buruk lagi, pemerintah justru membuka ruang bagi kemitraan publik-swasta (PPP) dalam penyediaan makanan MBG. Artinya, ini membuka ladang subur bagi kongsi politik dan bisnis. Vendor-vendor besar bisa menyapu proyek makan gratis ini, menggusur pelaku lokal yang seharusnya diberdayakan.
Koperasi sekolah, kantin warga, dan UMKM lokal dijanjikan akan dilibatkan. Tapi tanpa regulasi yang jelas, mereka hanya menjadi penonton dari proyek yang katanya untuk rakyat, tapi dikelola korporat.
Masalah ini sudah mulai terlihat:
Di beberapa daerah, sudah muncul praktik penunjukan langsung vendor “titipan”, bahkan sebelum pilot project dimulai.
Di sisi lain, sebagian UMKM belum diberi pelatihan atau akses informasi soal MBG. Mereka hanya mendengar dari media, bukan dari kanal resmi pemerintah.
Sekolah pun bingung: apakah makanan harus dimasak di lokasi? Diantar? Siapa yang bertanggung jawab kalau makanan basi?
Tanpa sistem, program sebesar MBG adalah jebakan anggaran.
Kita sudah belajar dari bansos COVID-19, BPNT, PIP, dan BOS. Ketika dana besar dilepas tanpa fondasi hukum yang rigid, tanpa pengawasan independen, dan tanpa partisipasi publik yang kuat—yang muncul bukan keberdayaan rakyat, tapi manipulasi proyek dan administrasi fiktif.
Program MBG hari ini belum punya tulang punggung. Yang ada hanyalah harapan politis dan sketsa besar yang menggoda telinga. Tapi sketsa itu belum menyentuh realitas: sekolah yang belum punya dapur, guru yang belum dilatih gizi, dan sistem pengadaan yang masih carut-marut.
Kalau MBG tetap dipaksakan tanpa regulasi konkret, bukan hanya makanannya yang basi. Tapi juga kepercayaan publik.
*Pegiat Medsos dan Pengamat Kebijakan Publik