machan – Jika di Hollywood ada Ocean’s Eleven, di Batang-Batang ada OTT’s Eleven. Sekelompok aktor yang piawai memainkan peran korban, pelaku, dan dalang dalam satu drama hukum yang lebih ruwet daripada sinetron pagi.
Si LSM yang “Salah Tempat, Salah Rekening”
Syaiful Bahri (SB), sang ketua LSM SIDIK, resmi jadi bintang utama setelah dijaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) Polres Sumenep. Ia diduga memeras Kades Batang-Batang Daya, Siti Naisa, dengan ancaman melaporkan proyek desa yang “tidak sesuai RAB”. Hingga terjadilah tawar menawar ala pasar lokal, dari yang awalnya Rp40 juta, kemudian deal di Rp20 juta. Sayang, SB lupa membaca syarat dan ketentuan: uangnya bukan untuk dia, tapi untuk tim OTT yang sudah menunggu di rumah Jufri, sang PNS Inspektorat.
Plot Twist, Jebakan atau Balas Dendam?
Tapi tunggu! SB ternyata sudah punya “track record”. Sebelumnya, ia dilaporkan oleh Sekdes Gunggung karena meminta Rp45 juta terkait proyek jembatan fiktif (yang katanya sudah selesai). Pelapor mengaku sudah transfer Rp3,87 juta sebagai “uang muka”. Nah, apakah OTT ini murni penegakan hukum atau sekadar counterattack agar kasus proyek jembatan tenggelam?
PNS Inspektorat: “Saya Hanya Penonton, Kok Ditangkap?”
Jufri, sang oknum PNS, tiba-tiba jadi figuran yang terseret. Ia diduga jadi “penyambung lidah” antara SB dan para kades. Tapi anehnya, SB ditangkap di rumahnya. Apa Jufri sedang mengadakan open house untuk transaksi ilegal? Plt. Inspektur Sumenep hanya bisa garuk-garuk kepala: “Saya tidak tahu apa-apa, serahkan ke polisi.”
Padahal Camat Batang-Batang, Mujib, menjelaskan awal kasus ini berawal dari pesan WhatsApp dari oknum Inspektorat ke Kades Siti Naisa. Pesan itu menyebut Syaiful akan melaporkan program desa yang diduga tidak sesuai rencana anggaran biaya (RAB). Mula-mula Inspektorat meminta Syaiful tidak meneruskan laporan. Namun tawar-menawar terjadi hingga disepakati Rp 20 juta agar laporan tidak dilanjutkan,” kata Mujib.
Hal tersebut juga diperkuat oleh penjelasan Kasi Humas Polres Sumenep AKP Widiarti Setyoningtyas ia memaparkan, kasus ini terkait proyek pengaspalan jalan desa yang dananya dari Dana Desa (DD). Jufri mengancam melaporkan ke Inspektorat kecuali korban membayar uang Rp 40 juta.
“Korban setuju membayar Rp 20 juta dan dijadwalkan bertemu di rumah Jufri,” jelas AKP Widiarti.
Saat korban menyerahkan uang Rp 20 juta kepada Syaiful, tim Satreskrim langsung menangkap kedua pelaku. Polisi menyita sejumlah barang bukti, termasuk tas berisi uang, handphone, dan dokumen percakapan.
Analisis Hukum
Menurut Marlaf Sucipto (Advokat), jerat Pasal 368 KUHP (pemerasan) mungkin tidak tepat, karena
1. Unsur ancaman kekerasan tidak ada, SB hanya mengancam akan “melaporkan”, bukan memukul atau membakar rumah.
2. Ada kesepakatan, Kades Naisa rela menyerahkan uang setelah negosiasi. Kalau sudah ada kata sepakat, apakah ini masih bisa disebut pemerasan?
3. Pelaku utama mungkin bukan SB, SB hanya perantara, sementara Jufri (PNS Inspektorat) yang punya akses data proyek dan otoritas untuk mengancam.
“Kalau mau jujur, ini lebih mirip suap atau gratifikasi. Tapi ya, lebih gampang pakai pasal pemerasan biar cepat masuk berita,” kira-kira begitu logika hukum yang dipakai.
Ach. Farid Azziyadi Pimpinan GAKI Jatim tak mau ketinggalan. Pada Rabu (28/5/25) Ia mendatangi kantor Inspektorat Kabupaten Sumenep untuk melaporkan Dana Desa Batang-Batang Daya, dan mendesak audit penuh Dana Desa (2021-2024) yang nilainya Rp5 miliar.
“Saya mendesak audit investigasi atas penggunaan Dana Desa di Desa Batang-batang daya, Kecamatan Batang-Batang Kabupaten Sumenep, mulai tahun anggaran 2021-2024 dikarenakan jumlahnya relatif besar baik tiap tahunnya maupun secara akumulatif, kurang lebih 5 miliar dalam kurun waktu 4 tahun,” ungkap Farid.
Inspektorat Sumenep pun berjanji akan “memanggil terlapor” tentu setelah memastikan tidak ada yang tersangkut di jaring mereka sendiri.
Hukum itu seperti Aspal Desa, Kadang Bolong-bolong
Kasus ini mengingatkan kita, bahwa di balik OTT yang dramatis, selalu ada cerita lama yang belum selesai. SB mungkin terjaring, tapi apakah ini akhir dari mafia proyek desa? Atau justru awal dari season 2 yang lebih absurd? Satu hal yang pasti “Tak akan ada OTT kalau tidak ada uang desa yang menguap.”
Di Sumenep, yang ditangkap hanya yang kebagian jatah terlalu kecil.