Oleh: Bisma Akbar Rabsanjani*
machan – One Piece adalah serial manga dan anime karya Eiichiro Oda yang telah menjadi fenomena global selama lebih dari dua dekade. Tokoh utamanya, Monkey D. Luffy, adalah pemuda dengan cita-cita menjadi Raja Bajak Laut, bukan untuk berkuasa, tetapi untuk menjadi orang paling bebas di dunia. Ia memimpin kru Straw Hat Pirates atau Mugiwara no Ichimi yang terdiri dari individu-individu dengan latar belakang penderitaan, ketidakadilan, dan keterpinggiran.
Bendera Jolly Roger mereka tengkorak dengan topi jerami berkibar bukan sebagai lambang teror, melainkan simbol tekad, persahabatan, kesetaraan, dan perlawanan terhadap rezim dunia yang korup dan opresif. Dalam dunia One Piece, mereka menentang sistem ketidakadilan yang dilakukan oleh World Government dan para bangsawan Tenryuubito yang hidup dari eksploitasi rakyat.
Maka tak heran, di dunia nyata, para penggemar anime memaknai bendera Jolly Roger bukan hanya sebagai lambang karakter favorit, tapi sebagai simbol moral: bahwa keberanian, solidaritas, dan keadilan adalah nilai yang patut diperjuangkan.
Fenomena Pengibaran di Bulan Kemerdekaan
Yang menjadikan fenomena ini semakin menarik adalah waktu kemunculannya yang bertepatan dengan bulan Agustus, bulan yang sarat makna sejarah sebagai peringatan kemerdekaan Indonesia. Bulan ini bukan sekadar momentum seremonial, tetapi seharusnya menjadi ruang refleksi tentang seberapa merdeka bangsa ini dari ketidakadilan, kemiskinan, ketimpangan, dan represi struktural.
Pengibaran bendera Jolly Roger dalam konteks ini tampak bukan lagi kebetulan. Ia menjadi bentuk pernyataan simbolik: bahwa di tengah kebanggaan terhadap 17 Agustus, masih banyak masyarakat yang merasa belum sepenuhnya “merdeka”. Merdeka dari ketakutan kehilangan hak atas tanah, dari ketidakpastian ekonomi, dari regulasi negara yang sering tidak memihak rakyat kecil.
Bendera tersebut hadir bukan untuk menggantikan Merah Putih, tetapi sebagai simbol alternatif yang menyuarakan kegelisahan generasi muda akan kondisi bangsa saat ini.
Menanggapi fenomena ini, Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, dalam wawancaranya dengan wartawan menyebut bahwa gerakan pengibaran bendera One Piece bisa mengarah pada upaya memecah belah bangsa. Begitupun dengan pimpinan MPR Firman Soebagyo menilai aksi tersebut sebagai bentuk provokasi yang bisa merugikan bangsa dan negara. Bahkan berpotensi dikategorikan tindakan makar sehingga aparat diminta untuk bertindak tegas, termasuk mengintrogasi dan mebina pihak yang terlibat.
Pandangan ini memicu kontroversi luas. Banyak kalangan, terutama generasi muda, menganggap bahwa pernyataan tersebut cenderung berlebihan dan tidak memahami konteks simbolik dari bendera tersebut. Seolah-olah pemerintah memosisikan simbol budaya populer sebagai potensi ancaman, padahal tidak ada fakta konkret bahwa pengibaran bendera ini dilakukan dalam semangat separatisme atau anti-negara. Justru sebaliknya, ia hadir sebagai bentuk kritik dalam ruang demokrasi—satu-satunya cara yang dimiliki rakyat kecil untuk menyampaikan suara mereka secara damai.
Fakta Sosial: Ketika Rakyat Kecil Tercekik
Penting untuk membaca fakta sosial yang sedang hangat-hangatnya dibahas oleh influenser, aktifis dan pengamat politik Indonesia, bahwa hari ini masyarakat kecil dihadapkan pada berbagai kebijakan yang menyulitkan:
• Pemblokiran rekening warga yang tidak aktif selama tiga bulan memicu kekhawatiran di tengah kondisi lapangan kerja yang semakin sempit dan ekonomi informal yang tidak terdeteksi sistem perbankan.
• Penyitaan tanah yang menganggur selama dua tahun, jika tidak ditangani dengan pendekatan sosial yang bijak, berpotensi menghilangkan hak masyarakat atas tanah warisan atau lahan tidur yang belum sempat dikelola.
• Yang lebih mengkhawatirkan adalah fakta bahwa pemerintah Indonesia bersepakat melakukan transfer data pribadi warga negara Indonesia ke Amerika Serikat, sebagai bagian dari perjanjian perdagangan timbal balik. Kesepakatan ini menimbulkan pertanyaan serius tentang kedaulatan digital, privasi warga negara, serta potensi eksploitasi data oleh pihak asing.
Belum lagi hukum yang sedang dipermainkan atas kasus Tom Lembong. Sekalipun kabar terbaru ia sudah dibebaskan. Pertanyaannya, kenapa tidak dari awal?
Dalam konteks seperti ini, simbol perlawanan ala One Piece bukanlah simbol kekacauan, tetapi lambang keberanian menghadapi realitas yang tidak adil. Mereka yang mengibarkannya bukan penjahat, tetapi rakyat yang bersuara.
KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pernah berpesan:
“Silakan kibarkan bendera apapun, asal jangan lebih tinggi dari Merah Putih.”
Petuah ini mengandung nilai toleransi, penghargaan terhadap keragaman ekspresi, dan sekaligus menegaskan supremasi bendera negara sebagai pemersatu. Dalam semangat Gus Dur, simbol Jolly Roger tidak perlu dianggap ancaman, selama tidak menggeser posisi Merah Putih secara ideologis dan konstitusional. Bahkan bisa menjadi pemicu dialog nasional yang sehat dan mendewasakan demokrasi.
Penutup: Simbol Fiksi, Aspirasi Nyata
Pengibaran bendera Jolly Roger di Indonesia pada bulan kemerdekaan ini tidak bisa direduksi sebagai tren hiburan belaka. Ia adalah pesan simbolik dari masyarakat yang gelisah, namun tetap cinta negeri. Mereka memilih ekspresi damai bukan kerusuhan, bukan anarki melainkan simbol yang kuat: bendera bajak laut yang dalam narasi fiksinya memperjuangkan keadilan.
Daripada memusuhi simbol, lebih baik para pemimpin negeri ini mendengar suara di balik kibaran bendera tersebut. Karena bangsa ini tidak cukup hanya mengenang kemerdekaan, tetapi harus terus memperjuangkannya bagi semua, bukan hanya segelintir elite.
*Ketua GEN Kecamatan Gapura