machan – Setiap tahun, pada tanggal 22 April, dunia memperingati “Hari Bumi” sebagai momentum untuk merefleksikan manusia tentang pentingnya menjaga kelestarian alam. Bagi masyarakat Madura, tanah bukan sekadar hamparan fisik, melainkan identitas, harga diri, dan warisan leluhur yang harus dipertahankan. Di tengah ancaman degradasi lahan, perubahan iklim, dan alih fungsi lahan, refleksi ini menjadi semakin krusial.
Tanah dalam Budaya Madura, adalah Simbol Kedaulatan dan Martabat. Bagi orang Madura, tanah pekarangan (Tanean) memiliki makna filosofis yang mendalam, tanah adalah sumber kehidupan, tempat bercocok tanam, dan simbol kedaulatan keluarga, yang menggambarkan betapa tanah tetap bernilai abadi meskipun waktu telah berubah. Dalam menjaga tanah masyarakat Madura berpegang teguh pada prinsip, “Orang yang kehilangan tanahnya seperti kehilangan separuh jiwanya. Tanah adalah titipan Tuhan yang harus dijaga, bukan hanya untuk kita, tapi untuk anak cucu kelak.” Pernyataan ini menegaskan bahwa pelestarian tanah tidak hanya tentang ekologi, tetapi juga tentang mempertahankan identitas budaya dan kearifan lokal.
Namun, dalam perjalanannya hingga hari ini eksistensi tanah Madura memiliki ancaman yang serius, antara lain:
Alih Fungsi Lahan, pertanian dan hutan dikonversi menjadi permukiman atau industri, hingga mengurangi ruang hidup masyarakat. Degradasi Lahan, erosi dan kekeringan mengancam kesuburan tanah akibat praktik pertanian tidak berkelanjutan. Pertambangan Liar, eksploitasi galian C tanpa reklamasi merusak ekosistem.
Beberapa hasil penelitian menyatakan, Jika laju kerusakan tanah tidak dikendalikan, dalam 20 tahun ke depan Madura akan kehilangan 30% lahan produktifnya. Ini bukan hanya masalah lingkungan, tapi juga ancaman bagi ketahanan pangan dan sosial budaya. Oleh sebab itu langkah antisipatif yang bisa kita lakukan salah satunya melalui Aksi Nyata, yakni Menjaga Tanah dengan Kearifan Lokal. Masyarakat Madura sebenarnya memiliki kearifan tradisional dalam mengelola tanah, antara lain:
Budaya Tanean Lanjhang, adalah sistem permukiman yang memadukan rumah, pekarangan, dan lahan pertanian secara harmonis. Melakukan Pola Tanam Rotasi, yakni mengistirahatkan tanah agar tetap subur. Gerakan Reboisasi, atau menanam pohon endemik seperti jati dan mangga kopyor untuk mencegah erosi.
Terakhir, dalam momentum Hari Bumi mari kita serukan untuk Bergerak dalam menjaga lingkungan, dimulai dari langkah kecil yang bisa kita lakukan
Memberikan Edukasi Lingkungan, guna memberikan sosialisasi pentingnya tanah bagi generasi muda. Melakukan Advokasi Kebijakan, dalam mendukung regulasi yang melindungi lahan pertanian dan hutan. Menggelar Aksi Kolaboratif, untuk menghidupkan kembali gerakan penanaman pohon dan konservasi tanah berbasis komunitas.
Seperti dikatakan Rachel Carson, pegiat lingkungan dalam bukunya Silent Spring
“Dalam setiap perjuangan menjaga bumi, yang kita pertahankan bukan hanya tanah, tapi masa depan manusia itu sendiri.”
Tanah Madura adalah cermin jati diri yang harus dijaga. Di Hari Bumi ini, mari kita rawat tanah sebagai bentuk syukur dan tanggung jawab kepada generasi mendatang.