Oleh: Syauqan Wafiqi*
machan – Apa yang mesti dilakukan sebuah masyarakat ketika bahasa sopan santun yang diwariskan turun-temurun justru berubah menjadi pagar tinggi yang membungkam kritik? Atau dengan kata lain: bagaimana tengka yang dulu mengajarkan kehalusan budi berubah menjadi mekanisme kontrol sosial yang justru menutup pintu koreksi, apalagi kebenaran?
Pertanyaan itu, dalam konteks Madura hari ini, menemukan relevansinya yang mengganggu. Di satu sisi, masyarakat Madura memelihara tengka dan religiositas sebagai dua poros penting dalam kehidupan sosial. Di sisi lain, justru dari keduanya terkadang muncul struktur yang tak lagi membimbing, tetapi mengatur; bukan lagi mendidik, melainkan menertibkan. Yang tadinya menjadi etika bersama kini menjadi alat kuasa yang sakral dan tak tersentuh.
Masalahnya bukan pada tengka. Tengka adalah nilai yang mengajarkan kesantunan dalam relasi. Tapi ketika tengka dipadukan dengan religiositas yang menempel pada status sosial, ia bukan lagi bahasa nilai, melainkan simbol legitimasi. Maka, muncul pengandaian-pengandaian baru: bahwa mereka yang berada dalam garis keturunan tertentu, atau mengenakan simbol religius tertentu, tidak boleh dikoreksi. Dan ketika koreksi datang dari luar lingkar simbolik itu, ia dibaca bukan sebagai pengingat moral, melainkan cangkolang kurang ajar, tak tahu adat.
Padahal tengka mestinya menjadi jalan untuk menghargai sesama, bukan untuk membungkam sesama. Ketika anak muda memilih cara berpikir berbeda, ketika masyarakat mempertanyakan keputusan tokoh lokal, ketika kebenaran menuntut ruang bicara tengka sering dijadikan tameng: “tidak sopan”, “melawan”, “tidak tahu diri”. Di titik ini, tengka kehilangan esensinya sebagai etika, dan berubah menjadi protokol kekuasaan.
Religiositas ikut memperkuat perubahan ini. Bukan karena agama mengajarkan begitu, tetapi karena agama dalam struktur sosial kita terlalu mudah dikunci dalam simbol: sorban, gelar, warisan. Orang-orang yang menyandang simbol itu mendapat posisi yang sulit disentuh oleh kritik. Maka ketika seorang tokoh agama menggunakan pengaruh sosial untuk menyerobot tanah warga, masyarakat lebih memilih diam, atau bahkan berkata: “Pasti ada alasannya.” Dalam diam itu, kita melihat bagaimana nilai dijaga bukan demi keadilan, melainkan demi rasa aman.
Wajah lain dari persoalan ini kadang tampak pada sebagian pada lora-lora, bhindere, putra-putra kiai yang secara sosial dianggap sebagai pewaris spiritual dan moral. Namun ketika sebagian dari mereka melakukan tindakan yang terang melanggar norma, masyarakat justru melapisinya dengan diksi yang memaafkan: “helap.” Seolah kesalahan mereka berbeda karena berasal dari darah yang “berbeda”. Seolah moralitas bisa diwariskan, bukan diperjuangkan.
Helap, dalam konteks ini, bukan lagi khilaf yang mengandung pertobatan. Ia berubah menjadi mekanisme sosial untuk melindungi mereka yang berkedudukan tinggi dari pertanggungjawaban moral. Maka, tengka yang semula dimaksudkan untuk menahan lidah agar tidak gegabah, kini menahan kebenaran agar tidak mengganggu tatanan.
Padahal zaman menuntut perubahan. Struktur sosial tidak lagi homogen. Pengetahuan tidak lagi bertumpu pada silsilah, tapi pada verifikasi. Dan di tengah perubahan itu, masyarakat Madura dihadapkan pada dilema: menjaga tengka dan religiositas sebagai nilai luhur, atau mengoreksi penggunaannya yang kini justru membekukan kritik dan menyamarkan penyimpangan.
Kita tidak sedang mengajak untuk memberontak terhadap nilai-nilai lama. Sebaliknya, kita sedang berusaha menyelamatkan tengka dari pembusukan maknanya. Tengka tidak seharusnya digunakan untuk membela yang salah hanya karena ia kiai, atau karena ia anak kiai. Religiusitas tidak seharusnya menjadi pembungkus keburukan yang tidak boleh dibuka. Karena ketika itu terjadi, tengka dan agama kehilangan wajah etisnya. Yang tersisa hanyalah estetika sosial yang melindungi kekuasaan, bukan nilai. Yang mengkhawatirkan bukanlah bahwa masyarakat menjadi tidak sopan. Yang mengkhawatirkan adalah ketika sopan santun didefinisikan sedemikian rupa sehingga menyebut yang salah dianggap lebih buruk daripada melakukan yang salah.
Maka tidak heran jika kita kerap mendengar komentar seperti ini: “Yang penting sopan.” Tapi apakah sopan itu tetap bernilai jika ia justru digunakan untuk menertibkan kebenaran? Apakah diam itu masih disebut tengka ketika yang diam adalah mereka yang tahu apa yang benar, tapi tidak punya status untuk mengatakannya?
Tulisan ini tidak datang untuk menjatuhkan simbol. Tapi simbol tanpa isi tidak akan bertahan lama. Tengka harus kembali ke tempat asalnya: sebagai nilai yang memperhalus, bukan menajamkan batas; sebagai etika yang membentuk dialog, bukan membatasi ucapan. Religiusitas pun harus kembali ke akarnya: bukan pada siapa yang memakai simbolnya, tapi pada siapa yang hidup menurut nilai-nilainya.
Sebab dalam masyarakat yang sehat, hormat tak menuntut kebungkaman, dan sopan santun tidak bertentangan dengan keberanian menyebut yang salah. Di situlah tengka akan menemukan kembali wajahnya yang utuh: bukan sebagai pagar kekuasaan, tetapi sebagai jembatan etika. Dan religiositas akan menjadi cahaya yang memandu, bukan payung yang membutakan.
*Aktivis dan Pegiat Literasi Digital Sumenep