By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Rabu, Agu 6, 2025
  • Sumenep
  • Sumenep
  • Inspirasi
  • Opini
  • GEN Sumenep
  • GEN Jatim
  • Polres Sumenep
  • Madura
Search
Login
Melihat Dunia dari Madura
Support US
Madura Channel
  • Berita Madura
    • Bangkalan
    • Pamekasan
    • Sampang
    • Sumenep
    • Tapal Kuda
  • Luar Madura
    • Internasional
    • Nasional
    • Regional
    • Pendidikan
  • Harta
  • Tahta
  • Wanita
More
  • Cerita Rakyat
  • Gaya Hidup
  • Inspirasi
  • Pekarangan
  • Pendidikan
  • Sejarah
  • Sosbud
  • Wisata
  • Opini
Reading: Tengka Sebagai Legitimasi Religius: Dari Etika ke Kontrol Sosial
Subscribe
Madura Channel
Rabu, Agu 6, 2025
  • Berita Madura
  • Luar Madura
  • Harta
  • Tahta
  • Wisata
  • Gaya Hidup
  • Cerita Rakyat
  • Inspirasi
  • Pekarangan
  • Pendidikan
  • Sejarah
  • Sosbud
  • Wanita
  • Opini
Search
Have an existing account? Sign In
Follow US
  • Privacy Policy
  • Hubungi
  • Pedoman
  • Redaksi
  • Tentang
© 2025 Madurachannel
Sumenep

Tengka Sebagai Legitimasi Religius: Dari Etika ke Kontrol Sosial

5 Agustus 2025 8:32 pm
By
fathorrosy
5 Min Read
Share
5 Min Read
Tengka Sebagai Legitimasi Religius: Dari Etika ke Kontrol Sosial (Ilustrasi)
Penulis
SHARE

Oleh: Syauqan Wafiqi*

machan – Apa yang mesti dilakukan sebuah masyarakat ketika bahasa sopan santun yang diwariskan turun-temurun justru berubah menjadi pagar tinggi yang membungkam kritik? Atau dengan kata lain: bagaimana tengka yang dulu mengajarkan kehalusan budi berubah menjadi mekanisme kontrol sosial yang justru menutup pintu koreksi, apalagi kebenaran?

Pertanyaan itu, dalam konteks Madura hari ini, menemukan relevansinya yang mengganggu. Di satu sisi, masyarakat Madura memelihara tengka dan religiositas sebagai dua poros penting dalam kehidupan sosial. Di sisi lain, justru dari keduanya terkadang muncul struktur yang tak lagi membimbing, tetapi mengatur; bukan lagi mendidik, melainkan menertibkan. Yang tadinya menjadi etika bersama kini menjadi alat kuasa yang sakral dan tak tersentuh.

Masalahnya bukan pada tengka. Tengka adalah nilai yang mengajarkan kesantunan dalam relasi. Tapi ketika tengka dipadukan dengan religiositas yang menempel pada status sosial, ia bukan lagi bahasa nilai, melainkan simbol legitimasi. Maka, muncul pengandaian-pengandaian baru: bahwa mereka yang berada dalam garis keturunan tertentu, atau mengenakan simbol religius tertentu, tidak boleh dikoreksi. Dan ketika koreksi datang dari luar lingkar simbolik itu, ia dibaca bukan sebagai pengingat moral, melainkan cangkolang kurang ajar, tak tahu adat.

Padahal tengka mestinya menjadi jalan untuk menghargai sesama, bukan untuk membungkam sesama. Ketika anak muda memilih cara berpikir berbeda, ketika masyarakat mempertanyakan keputusan tokoh lokal, ketika kebenaran menuntut ruang bicara tengka sering dijadikan tameng: “tidak sopan”, “melawan”, “tidak tahu diri”. Di titik ini, tengka kehilangan esensinya sebagai etika, dan berubah menjadi protokol kekuasaan.

Religiositas ikut memperkuat perubahan ini. Bukan karena agama mengajarkan begitu, tetapi karena agama dalam struktur sosial kita terlalu mudah dikunci dalam simbol: sorban, gelar, warisan. Orang-orang yang menyandang simbol itu mendapat posisi yang sulit disentuh oleh kritik. Maka ketika seorang tokoh agama menggunakan pengaruh sosial untuk menyerobot tanah warga, masyarakat lebih memilih diam, atau bahkan berkata: “Pasti ada alasannya.” Dalam diam itu, kita melihat bagaimana nilai dijaga bukan demi keadilan, melainkan demi rasa aman.

Wajah lain dari persoalan ini kadang tampak pada sebagian pada lora-lora, bhindere, putra-putra kiai yang secara sosial dianggap sebagai pewaris spiritual dan moral. Namun ketika sebagian dari mereka melakukan tindakan yang terang melanggar norma, masyarakat justru melapisinya dengan diksi yang memaafkan: “helap.” Seolah kesalahan mereka berbeda karena berasal dari darah yang “berbeda”. Seolah moralitas bisa diwariskan, bukan diperjuangkan.

Helap, dalam konteks ini, bukan lagi khilaf yang mengandung pertobatan. Ia berubah menjadi mekanisme sosial untuk melindungi mereka yang berkedudukan tinggi dari pertanggungjawaban moral. Maka, tengka yang semula dimaksudkan untuk menahan lidah agar tidak gegabah, kini menahan kebenaran agar tidak mengganggu tatanan.

Padahal zaman menuntut perubahan. Struktur sosial tidak lagi homogen. Pengetahuan tidak lagi bertumpu pada silsilah, tapi pada verifikasi. Dan di tengah perubahan itu, masyarakat Madura dihadapkan pada dilema: menjaga tengka dan religiositas sebagai nilai luhur, atau mengoreksi penggunaannya yang kini justru membekukan kritik dan menyamarkan penyimpangan.

Kita tidak sedang mengajak untuk memberontak terhadap nilai-nilai lama. Sebaliknya, kita sedang berusaha menyelamatkan tengka dari pembusukan maknanya. Tengka tidak seharusnya digunakan untuk membela yang salah hanya karena ia kiai, atau karena ia anak kiai. Religiusitas tidak seharusnya menjadi pembungkus keburukan yang tidak boleh dibuka. Karena ketika itu terjadi, tengka dan agama kehilangan wajah etisnya. Yang tersisa hanyalah estetika sosial yang melindungi kekuasaan, bukan nilai. Yang mengkhawatirkan bukanlah bahwa masyarakat menjadi tidak sopan. Yang mengkhawatirkan adalah ketika sopan santun didefinisikan sedemikian rupa sehingga menyebut yang salah dianggap lebih buruk daripada melakukan yang salah.

Maka tidak heran jika kita kerap mendengar komentar seperti ini: “Yang penting sopan.” Tapi apakah sopan itu tetap bernilai jika ia justru digunakan untuk menertibkan kebenaran? Apakah diam itu masih disebut tengka ketika yang diam adalah mereka yang tahu apa yang benar, tapi tidak punya status untuk mengatakannya?

Tulisan ini tidak datang untuk menjatuhkan simbol. Tapi simbol tanpa isi tidak akan bertahan lama. Tengka harus kembali ke tempat asalnya: sebagai nilai yang memperhalus, bukan menajamkan batas; sebagai etika yang membentuk dialog, bukan membatasi ucapan. Religiusitas pun harus kembali ke akarnya: bukan pada siapa yang memakai simbolnya, tapi pada siapa yang hidup menurut nilai-nilainya.

Sebab dalam masyarakat yang sehat, hormat tak menuntut kebungkaman, dan sopan santun tidak bertentangan dengan keberanian menyebut yang salah. Di situlah tengka akan menemukan kembali wajahnya yang utuh: bukan sebagai pagar kekuasaan, tetapi sebagai jembatan etika. Dan religiositas akan menjadi cahaya yang memandu, bukan payung yang membutakan.

*Aktivis dan Pegiat Literasi Digital Sumenep

TAGGED:ReligiositasSyauqan WafiqiTengka Madura
Share This Article
Facebook Threads Copy Link
  • Topik Trending:
  • Sumenep
  • Sumenep
  • Inspirasi
  • Opini
  • GEN Sumenep
  • GEN Jatim
  • Polres Sumenep
  • Madura
  • Pamekasan
  • Pemerintah Kabupaten Sumenep

Must Read

Tengka Sebagai Legitimasi Religius: Dari Etika ke Kontrol Sosial
5 Agustus 2025
Diduga Alami Gangguan Jiwa, Seorang Cucu Bunuh Nenek Kandungnya di Lenteng
4 Agustus 2025
BP 13.29 Kwarcab Sumenep Ikuti Temu ABDIMAS Kwarda Jatim, Perkuat Sinergi Pengabdian Masyarakat
4 Agustus 2025
64 Tahun Pramuka, Kwarcab Sumenep Gelar Kemah Bakti Pelatih Arya Wiraraja di Pantai Slopeng
2 Agustus 2025
Resmi Menjadi Universitas PGRI Sumenep, Begini Pesan Kepala LLDIKTI Wilayah VII Jatim
2 Agustus 2025

Baca Lainnya

Bedah Buku "Kiai Ceret", Pembedah: K. Hosa adalah Teladan yang Multitalenta (Ilustrasi)
Sumenep

Bedah Buku “Kiai Ceret”, Pembedah: K. Hosa adalah Teladan yang Multitalenta

4 Min Read
Terindikasi Dana P3KE Rp 13 Milliar Tak Sesuai Juknis, Pemuda Demokrasi Audiensi ke Dinsos Sumenep (Ilustrasi)
Sumenep

Terindikasi Dana P3KE Rp 13 Milliar Tak Sesuai Juknis, Pemuda Demokrasi Audiensi ke Dinsos Sumenep

4 Min Read
Bahas Personal Branding, HIMAMA UNIBA Gelar Seminar Nasional "Learning To Master" (Ilustrasi)
Sumenep

Bahas Personal Branding, HIMAMA UNIBA Gelar Seminar Nasional “Learning To Master”

2 Min Read
Rakercab Pramuka Sumenep Digelar, Ketua Kwarcab: Kita Harus Bergerak Bersama (Ilustrasi)
Sumenep

Rakercab Pramuka Sumenep Digelar, Ketua Kwarcab: Kita Harus Bergerak Bersama

1 Min Read
FMUB Gelar Pelantikan, Camat Batang-Batang: Mahasiswa Harus Menjadi Solusi Persoalan Masyarakat (Ilustrasi)
Sumenep

FMUB Gelar Pelantikan, Camat Batang-Batang: Mahasiswa Harus Menjadi Solusi Persoalan Masyarakat

2 Min Read
Mayat Mr. X Ditemukan dalam Kondisi Tidak Utuh di Pesisir Arjasa, Hanya Tersisa Sebagian Tubuh dan Sisa Pelampung (Ilustrasi)
Sumenep

Mayat Mr. X Ditemukan dalam Kondisi Tidak Utuh di Pesisir Arjasa, Hanya Tersisa Sebagian Tubuh dan Sisa Pelampung

3 Min Read
GEN Sumenep Gelar Konsolidasi Wilayah, Perkuat Solidaritas dan Aspirasi Generasi Muda  (Ilustrasi)
Sumenep

GEN Sumenep Gelar Konsolidasi Wilayah, Perkuat Solidaritas dan Aspirasi Generasi Muda 

2 Min Read
Meriah, Yayasan Al Amin Al Khidary Gelar Grand Opening Al Amin Fest Competition 2025 (Ilustrasi)
Sumenep

Meriah, Yayasan Al Amin Al Khidary Gelar Grand Opening Al Amin Fest Competition 2025

2 Min Read
Show More
About Us

Madura Channel adalah platform media digital terpercaya yang mengangkat kekayaan budaya, berita, edukasi dan ‘pintu’ seputar Madura

Support

Dukung independensi jurnalisme —dengan dukungan Anda, suara kebenaran dan kebebasan informasi akan terus membahana, menginspirasi dan memberdayakan masyarakat Madura.

Advertise

Iklankan produk atau jasa Anda di sini dan rasakan perbedaan dalam menjangkau pasar yang autentik dan penuh potensi.

Kirim Tulisan

Kirim Tulisan – Suaramu, Ceritamu, Maduramu. Apakah kamu memiliki cerita, opini, atau informasi menarik seputar budaya, sejarah, dan kehidupan di Madura yang layak untuk disebarkan? Kirim ke Redaksi

Madura Channel
  • Privacy Policy
  • Hubungi
  • Pedoman
  • Redaksi
  • Tentang
Subscribe Newsletter
  • Daily Stories
  • Stock Arlets
  • Full Acess
Subscribe to our newsletter to get our newest articles instantly!
[mc4wp_form]
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?

Not a member? Sign Up