Oleh: Miftahol Anwar*
machan – “Education must begin at birth.” — Maria Montessori. Kalimat ini tampak sederhana, namun menyimpan makna kritis yang dalam tentang pendidikan. Kita sering menganggap bahwa pendidikan baru dimulai saat anak masuk TK atau SD. Padahal, pendidikan sejati dimulai sejak anak membuka mata untuk pertama kalinya, sejak ia mulai menyerap suara, gerakan, dan emosi di sekitarnya.
Ada pepatah bijak yang mengatakan: orang tua adalah guru pertama bagi anak-anaknya. Maka sejak lahir, orang tua seharusnya menjadi teladan. Bukan hanya mengajarkan kebaikan lewat kata-kata, tapi juga menampakkannya lewat perilaku. Setiap tindakan kecil di hadapan anak adalah bagian dari pendidikan awal yang membentuk mereka seumur hidup.
Di sistem pendidikan kita, anak baru dianggap serius belajar ketika sudah masuk TK atau SD. Padahal sejak bayi, mereka sudah belajar dari mendengar suara, melihat gerakan, menyentuh benda, bahkan merasakan emosi di sekitarnya. Jika masa-masa krusial ini dilewati tanpa pendekatan pendidikan yang tepat, maka kita sedang menyia-nyiakan fase emas perkembangan anak.
Lalu bagaimana dengan negara seperti Jepang?
Berdasarkan berbagai literatur dan situs pendidikan yang saya baca, sejak usia dini anak-anak di Jepang sudah dibiasakan membangun karakter—seperti empati, tanggung jawab, dan kerja sama. Mereka juga dilatih kemandirian: memakai baju sendiri, merapikan mainan, dan merawat diri. Semua ini bukan terjadi begitu saja, tapi dibentuk melalui pendampingan konsisten dari orang tua di rumah.
Pendekatan Montessori mengajarkan kita bahwa setiap anak itu unik, dan pendidikan tidak boleh bersifat seragam atau memaksakan. Pendidikan sejak dini harus lebih banyak mengutamakan pembelajaran lewat pengalaman, eksplorasi, dan keaktifan anak. Jika sistem pendidikan kita mulai mengubah cara pandang ini—dengan memberikan ruang untuk kreativitas, keterampilan sosial, dan kemandirian anak—maka kita akan melahirkan generasi yang lebih siap menghadapi dunia. Orang tua sebagai pendamping sejak lahir sangat penting, bukan hanya sebagai pengarah, tetapi sebagai teladan yang mencerminkan nilai-nilai kehidupan yang diinginkan.
Kita harus sadar bahwa pendidikan itu tidak terbatas pada ruang kelas atau usia tertentu. Seperti kata Maria Montessori, “Education must begin at birth.” Mendidik bukan hanya soal mengisi kepala anak dengan informasi, tetapi membentuk mereka menjadi individu yang mampu berpikir kritis, berempati, dan bertanggung jawab. Sudah saatnya kita mengubah cara kita memandang pendidikan—dengan melihat anak sebagai pembelajar alami yang membutuhkan ruang untuk tumbuh, belajar, dan mengeksplorasi. Mari mulai menginvestasikan waktu dan perhatian kita sejak awal kehidupan mereka, agar masa depan yang kita impikan bisa dimulai dari sini.
*Kaprodi Ilmu Komunikasi Universitas Annuqayah Sumenep dan Mahasiswa Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta