Oleh: Kiai Fathor Rois*
machan – Masyarakat Madura memiliki sistem sosial yang unik dan mengakar kuat dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya adalah tradisi kompolan. Kompolan bukan sekadar perkumpulan biasa, melainkan sebuah institusi sosial yang berfungsi sebagai ruang publik, penyelesaian konflik, dan penguatan nilai-nilai kebersamaan.
Menariknya, tradisi ini ternyata selaras dengan nilai-nilai Pancasila, sekaligus mencerminkan ajaran Islam tentang pentingnya persaudaraan. Dalam konteks yang lebih luas, kompolan dapat dilihat sebagai bentuk nyata demokrasi desa yang telah dipraktikkan turun-temurun, jauh sebelum Indonesia merdeka.
Kompolan sebagai Cerminan Nilai-Nilai Pancasila
1. Ketuhanan Yang Maha Esa (Landasan Spiritual Kompolan)
Kompolan di Madura pada umumnya berlangsung di malam hari, yang diikuti oleh kaum lelaki, diawali dengan kegiatan keagamaan, seperti sholat Maghrib dan Isya berjamaah kemudian dilanjut pengajian yang dipimpin oleh tokoh agama setempat.
Hal ini menunjukkan bahwa nilai ketuhanan menjadi fondasi utama dalam setiap aktivitas kompolan. Praktik ini sejalan dengan sila pertama Pancasila, di mana kehidupan beragama diintegrasikan dalam kehidupan sosial secara kolektif.
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab (Solidaritas dalam Kompolan)
Salah satu ciri khas kompolan adalah kepedulian yang tinggi di antara anggotanya. Mulai dari sekadar menanyakan kabar sanak famili, hingga mengumpulkan dana untuk keperluan sosial. Nilai-nilai kemanusiaan ini sangat sesuai dengan sila kedua Pancasila, dengan begitu kompolan menjadi mekanisme alami bagi masyarakat Madura untuk menjaga keseimbangan sosial.
3. Persatuan Indonesia (Kompolan sebagai Peredam Konflik)
Madura dikenal sebagai masyarakat yang egaliter tetapi sangat menjaga harga diri (carok adalah contoh ekstremnya). Namun, kompolan berfungsi sebagai peredam konflik alami. Ketika semisal terjadi perselisihan di siang hari, namun di malam harinya mereka bertemu di Kompolan, bersalaman kembali antara kedua belah pihak tanpa disadari mereka telah membuang ego masing-masing melalui kompolan.
Fungsi ini sangat relevan dengan sila ketiga Pancasila. Sebagaimana dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1984), tradisi lokal seperti kompolan merupakan bentuk kearifan budaya dalam menjaga harmoni sosial. Dalam kompolan, semua pihak diajak untuk mengutamakan persatuan dari pada perpecahan.
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan
Kompolan sering digunakan sebagai forum musyawarah untuk membahas masalah bersama, seperti pembangunan masjid, jalan desa, atau penyelesaian sengketa tanah. Proses pengambilan keputusannya bersifat kolektif dan demokratis, sesuai dengan sila keempat Pancasila.
Menurut penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI, 2019), model musyawarah dalam kompolan mirip dengan konsep deliberative democracy, di mana keputusan diambil berdasarkan kesepakatan bersama, bukan dominasi kelompok tertentu. Ini membuktikan bahwa demokrasi ala Indonesia sudah dipraktikkan secara organik di tingkat akar rumput.
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Yang menarik dari kompolan adalah tidak adanya hierarki sosial di dalamnya. Entah Pejabat, petani, dan pedagang duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Prinsip kesetaraan dan keadilan ini sesuai dengan sila kelima Pancasila.
Dalam perspektif sosiologis, kompolan berfungsi sebagai equalizer sosial, tempat di mana status ekonomi dan jabatan tidak menjadi pembeda. Hal ini sejalan dengan konsep ukhuwah islamiyah (persaudaraan Islam) yang menekankan kesetaraan di hadapan Allah.
Kompolan dalam Konteks Kekinian, Tantangan dan Pelestarian
Di era modern, kompolan menghadapi tantangan, seperti menguatnya individualisme dan pergeseran pola komunikasi ke media digital. Namun, justru di sinilah kompolan perlu dipertahankan sebagai benteng pertahanan sosial.
Menghadapi hal tersebut ada Beberapa langkah yang bisa dilakukan, mulai dari Pemberdayaan kompolan sebagai pusat kegiatan sosial-keagamaan, integrasi kompolan dengan program pemerintah, dan Dokumentasi dan penguatan nilai-nilai kompolan melalui pendidikan formal/nonformal
Kompolan di Madura adalah manifestasi nyata dari Pancasila yang hidup. Tradisi ini membuktikan bahwa nilai-nilai luhur bangsa tidak harus diimpor dari luar, tetapi bisa ditemukan dalam kearifan lokal. Kompolan adalah sekolah demokrasi, laboratorium toleransi, dan ruang keadilan sosial yang telah teruji selama berabad-abad.
Sebagaimana pesan Bung Hatta:
“Indonesia tidak akan kuat jika hanya bertumpu pada pemerintah. Kekuatan sejati bangsa ada pada gotong royong dan musyawarah di tingkat rakyat.”
Kompolan adalah bukti bahwa Pancasila bukan sekadar teori, tetapi hidup dalam denyut nadi masyarakat. Melestarikannya berarti memperkuat jati diri bangsa di tengah arus globalisasi. Dengan demikian, kompolan tidak hanya layak dilestarikan, tetapi juga patut dijadikan model penguatan nilai-nilai kebangsaan di era modern. Subhanallah, betapa mulianya warisan leluhur ini.
*Tokoh Agama desa Gapura Timur, Pegiat Kompolan di Timur Daya Sumenep