machan – Unit Kegiatan Mahasiswa Pengembangan Intelektual (UKM PI) INKADHA sukses menggelar kegiatan Kuliah Sastra 2025 dengan tema “Pena sebagai Pelatuk Revitalisasi Sastra di Era Digital” pada Sabtu (12/7/25).
Acara ini menghadirkan dua narasumber inspiratif di bidang sastra nasional, yaitu Ummul Hasanah, cerpenis muda dan penulis yang dikenal lewat karya-karyanya, serta Mohammad Ali Tsabit, sastrawan dan penulis buku bernuansa edukatif.. Keduanya mengulas secara mendalam bagaimana sastra tetap relevan sebagai media kritik sosial, ekspresi budaya, dan penjaga nilai kemanusiaan di tengah derasnya disrupsi teknologi.
Kegiatan yang berlangsung di Gedung INKADHA Blok B ini dihadiri puluhan peserta yang terdiri dari mahasiswa, pegiat literasi, hingga komunitas sastra. Suasana hangat dan antusias menyelimuti jalannya diskusi interaktif antara peserta dan pemateri.
Dalam sambutannya, Maulana Wildan, Ketua Umum UKM PI INKADHA, menyampaikan bahwa kegiatan ini diharapkan tidak hanya menjadi ruang diskusi pasif, namun juga menjadi pemantik bagi lahirnya karya sastra yang kontekstual dan membumi.
“Kami ingin Kuliah Sastra ini menjadi ruang regenerasi bagi sastrawan muda yang adaptif terhadap zaman dan tidak takut mengekspresikan kegelisahan sosial melalui pena,” tuturnya.
Sementara itu, Zainullah, M.Pd, Rektor INKADHA, secara resmi membuka acara dan menyampaikan apresiasinya atas semangat kemandirian UKM PI dalam menyelenggarakan kegiatan ini.
“Saya bangga pada UKM PI dan seluruh panitia yang bisa melaksanakan acara secara mandiri tanpa menunggu dana dari kampus. Ini contoh nyata mahasiswa yang bergerak aktif dan solutif,” ucapnya, disambut gelak tawa peserta.
Dukungan juga datang dari Rizqo Hidayati, Wakil Presiden Mahasiswa INKADHA, yang juga merupakan mantan anggota UKM PI. Ia menyampaikan rasa bangganya atas keberlanjutan semangat literasi di kalangan mahasiswa.
“Luar biasa melihat konsistensi UKM PI dari tahun ke tahun. Teruslah menjadi garda terdepan literasi kampus,” ungkapnya.
Melalui kegiatan ini, UKM PI INKADHA ingin menegaskan bahwa sastra bukan sekadar nostalgia masa lalu, melainkan kekuatan intelektual yang terus hidup, tumbuh, dan memberi arah di tengah arus perubahan zaman.