machan – Tradisi Ter-ater hingga kini masih lestari di kalangan masyarakat Madura, khususnya di Kabupaten Sumenep, sebagai bagian tak terpisahkan dari perayaan Idul Fitri dan Idul Adha. Ritual ini menjadi simbol kebersamaan dan kepedulian, di mana para ibu membawa berbagai hidangan khas lebaran seperti aneka masakan berhan ikan bandeng, opor ayam, rendang, atau kue tradisional untuk dibagikan kepada kerabat, tetangga, guru ngaji, maupun keluarga besar.
Umumnya tradisi ini berlangsung mulai waktu petang menjelang malam Hari Raya, hingga pagi hari sebelum sholat ied. Yang unik dari tradisi ini, khusus hantaran ke mertua biasanya lebih istimewa dari pada hantaran untuk kerabat atau tetangga. Adapun untuk guru ngaji biasanya terdiri dari Nasi putih dengan telur rebus (Rasol) atau bisa juga dibagikan dalam kondisi mentah, berupa beras dan telur.
Ditinjau dari perspektif sosial budaya, Ter-ater bukan sekadar aktivitas saling memberi makanan, melainkan sebuah mekanisme penguatan hablum minannas/Humanisme (hubungan antar manusia) yang berakar pada nilai-nilai kearifan lokal Madura. Tradisi ini berfungsi sebagai social glue (perekat sosial) yang memelihara keharmonisan, bahkan menjadi media rekonsiliasi jika sebelumnya terjadi ketegangan dalam hubungan kekerabatan. Misalnya, keluarga yang sempat berselisih dapat mencairkan suasana melalui pertukaran Ter-ater, menunjukkan betapa budaya ini menjadi instrumen resolusi konflik yang halus.
Dari sudut pandang agama, Ter-ater sejalan dengan prinsip Islam tentang silaturahmi dan sedekah. Kegiatan ini merefleksikan ta’awun (tolong-menolong) dan penghormatan kepada guru ngaji sebagai bentuk birrul walidain (bakti kepada orang tua dan pendidik). Dalam konteks ini, Ter-ater juga menjadi penanda bahwa keberkahan lebaran tidak hanya bersifat spiritual (hablum minallah), tetapi juga sosial.
Meski arus modernisasi terus menggerus banyak tradisi, masyarakat Madura khususnya di pelosok desa tetap berkomitmen melestarikan Ter-ater. Nilainya yang multidimensi (sosial, budaya, dan agama) menjadikannya sebagai living heritage yang harus diwariskan ke generasi muda. Tantangan ke depan adalah bagaimana memodernisasi penyampaiannya tanpa menghilangkan esensinya, misalnya dengan mengedukasi pemuda tentang filosofi di balik tradisi ini melalui media digital atau kegiatan komunitas.
Ter-ater adalah cerminan identitas Madura yang holistik, mengajarkan kesalehan individual yang kolektif dan berlandaskan humanisme. Pelestariannya bukan hanya tentang mempertahankan ritual, melainkan merawat social capital (modal sosial) untuk membangun masyarakat yang solid, inklusif, dan berdaya tahan di tengah perubahan zaman.